Mohon tunggu...
imran thahir
imran thahir Mohon Tunggu... Dosen -

Let say for justice and fairness

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironi Demokrasi di Tengah Polemik Pilkada

9 Oktober 2014   10:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:46 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ironi Demokrasi Di Tengah Polemik Pilkada

Oleh: Imran Thahir

Tulisan ini disusun pada pertengahan bulan September 2014, dimuat pada Harian Tribun Timur (Kompas Grup) Rabu, 17 Sept 2014 (tulisan lengkap sebelum diedit oleh redaktur harian tersebut)

Kontroversi politik dan perang opini di media massa semakin memanas jelang finalisasi RUU Pilkada oleh DPR di akhir medio September ini. Seperti umumnya dalam perhelatan pembuatan keputusan politik mengarah kepada pertentangan dan pertarungan dalam dua kutub, antara yang pro dan kontra. Polemik tersebut berkecenderungan menghadirkan konflik di balik kepentingan-kepentingan dari mereka yang terlibat, termasuk “menggelitik” nafsu kekuasaan diantara elit politik di tingkat nasional dan diberbagai daerah.

Di pihak yang pro dengan pemilihan kepala daerah oleh parlemen di tingkat lokal, mengajukan salah satu argumen bahwa pilkada langsung tidak efisien dari segi biaya. Alasan yang didukung oleh kenyataan, setiap pelaksanaan pilkada langsung selalu menghamburkan anggaran publik yang sangat besar jumlahnya. Sebuah alasan yang tentunya dapat diterima oleh akal sehat.

Alasan tentang maraknya korupsi yang dilakukan oleh sejumlah besar kepala daerah selama berlakunya rejim pilkada langsung, juga dikedepankan dalam polemik tersebut. Dengan bukti adanya 318 Bupati/Walikota yang terjerat UU anti korupsi sejak berlakunya sistem pilkada langsung, adalah kenyataan yang sulit terbantahkan.

Turut mengemuka, merebaknya konflik-konflik lokal yang dipicu oleh pelaksanaan pilkada langsung merupakan fakta-faktasosial yang tidak dapat ditepis. Pilkada langsung dianggap sebagai sumber perpecahan di tingkat lokal, termasuk disesalkan oleh sebab dipandang turut berkonstribusi teradudombanya kalangan pemimpin umat dan ulama yang seharusnya tetap ada pada “tempat yang paling suci.”

Argumentasi ideologis yang menonjol dari pihak ini adalah menyoal pilkada langsung sebagai praktek demokrasi liberal dan tidak sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi nasional. Menurut pandangan ini, Pancasila dengan sila “Kedaulatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” ditafsirkan bahwa wewenang memilih pemimpin politik melekat pada kekuasaan lembaga perwakilan rakyat. Sifatnya yang ideologis, alasan terakhir ini memunculkan polemik serius dan perang argumentasi serta persepsi terhadap penafsiran konstitusional.

Di pihak seberang, terutama dengan berupaya keras mematahkan argumen-argumen pihak yang pro. Pihak terakhir ini melontarkan pokok pikiran bahwapilkada langsung dinilai memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Salah satunya, alasan bahwa banyak diantara pemimpin daerah yang dipilih langsung adalah “the rising star” karena lebih kredibel, bertanggung jawab serta berintegritas.

Argumentasi mereka lainnya adalah faktor efektifitas yang membuat pilkada langsung bisa lebih terpercaya, sebab dengan sistem pemilihan seperti ini akan mendorong dikedepankannya transparansi politik dan akuntabilitas publik. Selanjutnya menurut argumen tersebut, pemimpin-pemimpin lokal “bertanggung jawab” langsung kepada rakyat pemilih lebih termotivasi untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan publik dengan tanpa keharusan untuk sekedar tunduk kepada kemauan para legislator semata.

Seru dan menarik perhatian khalayak, publik yang sebagian besarnya belum tentu bisa meraih manfaat dari polemik politik seperti ini. Fakta dalam lebih dari sepuluh tahun pasca reformasi, sebagian besar rakyat di Indonesia hanya mendapatkan hiburan dari drama-drama politik, dari satu panggung politik ke panggung politik lainnya. Seperti biasanya, elit politik-lah yang benar-benar mengerti dan mendominasi makna persoalan politik seperti ini.

Dalam perkembangan sejarah dan di hampir setiap sistem demokrasi, kebaradaan elit politik adalah ironi bagi demokrasi itu sendiri. Elit dalam bahasa pakar sosial adalah hukum besi (iron law) yang melekat secara alamiah pada kenyataan masyarakat, masyarakat dalam situasi apapun tidak mampu terhindar dari kekuasaan elit. Dan sampai hari ini, hanya mereka dengan paham kiri-radikal yang masih meragukan keniscayaan akan keberadaan elit politik dalam kenyataan sosial.

Sebagaimana layaknya dalam kasus pertarungan keputusan tentang mekanisme pilkada ini, hanya elit politik-lah yang benar-benar tahu tentang perihal yang dipertentangkan diantara sikap pro-kontra. Termasuk keberadaan pertarungan diskursus tentang nilai dan perkelahian nafsu kekuasaan diantara elit politik yang biasanya menyembunyikan berbagai misteri di balik peristiwa politik tersebut.

Dalam ilmu politik dan studi kebijakan, pembuatan keputusan politik adalah sebuah kotak hitam (black box) yang misterius. Bagian proses terpentingnya tidak akan banyak diketahui oleh publik, yang transparan hanyalah usulan-usulan kebijakannya dan keputusan politiknya saja. Sebahagian dari yang terlibat secara langsung sekalipun dalam pengambilan keputusan politik dimungkinkan tidak mengetahui secara utuh terhadap agenda politik yang sebenarnya. Diantara mereka, bahkan terpaksa bersikap atas pilihan-pilihan kebijakan hanya karena instruksi dari pihak tertentu.

Biasanya, di balik proses pengambilan keputusan akan lebih banyak tertutupidari publik serta dipersepsikan sebagai “arena gelap” yang sarat dengan perselingkuhan ekonomi politik. Arena kekuasaan yang misterius dan tidak akan tampak oleh pencitraan logika brilian sekalipun. Alias, proses pembuatan keputusan politik sering sebagai sesuatu yang irrasional.

Pembuatan keputusan mekanisme pilkada ini termasuk bisa terjebak kedalam ironi demokrasi, jika rancangan keputusan politik ini didominasi dan terhegemoni oleh elit politik. Dengan proses hanya dari, untuk dan oleh elit politik maka kedaulatan rakyat akan benar-benar tertelanjangi dan tidak menjadi pertimbangan utamanya. Kalau saja para elit politik tersebut memiliki itikad baik, seharusnya bertanya langsung dan meminta pendapat rakyat: apakah mereka ingin memilih langsung pemimpin-pemimpin di daerahnya masing-masing ataukah diserahkan kepada pemangku wakil rakyat.

Krusial, nasib demokratisasi yang telah susah payah ditegakkan dengan reformasi dipertaruhkan dalam polemik pilkada tersebut. Isu-isunya diliputi oleh pro-kontra mekanisme demokrasi lokal yang bisa saja meminggirkan prinsip kedaulatan rakyat. Sedangkan mereka yang berpolemik, suara para tokoh, pakar dan elit politik belum tentu merupakan kehendak rakyat kebanyakan. Ekstrimnya, keputusan politik seperti ini hanya layak diputuskan dalam sebuah plebisit atau referendum.

Prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan penarik minat mayoritas orang untuk menjatuhkan komitmennya kepada demokrasi. Menjadi penyemangat dan tujuan berbagai gerakan politik karena sistem inilah yang memberikan kesempatan terbesar bagi keterlibatan rakyat dalam pembuatan keputusan-keputusan politik. Oleh karenanya, hakikat keputusan politik demokratis menempatkan rakyat sebagai subyek tunggalnya atau dinyatakan dengan semboyan: dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Demokrasi langsung diyakini sebagai bentuk demokrasi yang paling ideal dan selaku format sejati dari demokrasi. Akan tetapi, UU Pilkada nantinya bisa saja mengadopsi sistem pilkada langsung atau pun dengan lembaga perwakilan tanpa mencederai keutamaan nilai-nilai demokrasi. Memilih pemimpin daerah diantara kedua tata cara pemilihan tersebut tidak akan berpengaruh pada kualitas demokrasinya.

Kualitas demokrasi merujuk kepada apakah prosedur demokrasi tunduk dan konsisten pada prinsip kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, UU Pilkada mutlak mengatasi prinsip ini sebagai syarat utama dari legitimasi demokratis. Apalagi, undang-undang tersebut dimaksudkan untuk melegitimasikan kekuasaan kepala daerah sebagai pemimpin lokal. Singkatnya, prosedur demokrasi harus menaati asas “kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat” dan tanpa diutak-atik lagi.

Secara langsung atau melalui perwakilan politik adalah bukan persoalan pelik pada demokrasi moderen. Perkembangan dalam prakteknya, demokrasi menganut berbagai ragam prosedur pembuatan keputusan politik seperti langsung oleh rakyat, bertingkat (melalui dewan pemilih) atau dengan perwakilan oleh para legislator. Keseluruhan ragam prosedur politik tersebut telah diamini secara universal sebagai sesuatu yang halal secara demokratis. Akan tetapi, kuncinya tetap terletak pada penempatan prinsip kedaulatan rakyat secara konsisten.

Dalam perspektif tersebut, prosedur pemilihan melalui perwakilan politik membawa kelemahan mendasar yakni dapat dipersoalkan pada aspek konsistensi penerapan prinsip kedaulatan rakyat. Salah satu solusi demokratis terbaik untuk problem seperti itu dikenali sebagai model parlementeris. Dalam sistem ini, alternatif-alternatif pilihan calon pemimpin politik (kepala pemerintahan) diseleksi dari dan dinominasi oleh kandidat yang sebelumnya telah mendapatkan mandat politik sebagai anggota parlemen.

Dengan cara seperti di atas, pemimpin politik yang terpilih melalui sistem perwakilan politik memiliki legitimasi demokratis yang kuat. Kekuatan legitimasi dan akuntabilitas demokratis dari pemimpin yang terpilih oleh perwakilan politik tersebut melekat secara otomatis karena statusnya sebagai anggota parlemen.

Sebagai sistem alternatif, kepala daerah dapat sekaligus sebagai anggota DPRD sebab ia memiliki standar legitimasi politik yang langsung dari rakyat. Selain itu, untuk memenuhi prinsip kedaulatan rakyat maka pertanggung jawaban moral dan politik selama periode kepemimpinannya dapat dinilai oleh rakyat secara langsung pada setiap lima tahun dalam penyelenggaraan pemilu.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun