Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kembali

5 Maret 2019   11:20 Diperbarui: 5 Maret 2019   11:27 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hening, suasana kembali seperti sedia kala. Aku tak bisa melepaskan egoku, sedangkan dia juga belum mampu menempatkan emosinya. Entah, aku juga kurang paham bagaimana prosesnya hingga secara ajaib aku bisa melihat mata coklatnya kembali. Setelah sekian lama berpisah, lalu ia kembali menawarkan untuk saling menghubungi sebagai sepasang sahabat. Aku, perempuan yang mudah dicerahkan harinya dengan hal hal kecil kemudian dengan senang hati menyambut tawarannya. Tanpa banyak basa basi, kami menjadi lebih sering mengabari setiap hari. Saling mendengarkan cerita ketika sudah lelah bekerja.

"Gimana kabar cowokmu? Sudah sering nyamperin ke sini ya pasti" tanyanya, berani. Kucubit pingganya.

"Aku masih nyaman kemana mana sendirian" jawabku.

Sudah berulang kali aku menolak untuk membahas saat ini sedang dekat dengan siapa. Bagiku, ada hal yang lebih penting daripada menjalin hubungan. Apalagi hubungan yang masih prematur. Aku butuh banyak waktu untuk menyelami diri sendiri, mengobrol dengan teman teman tanpa ada sesuatu yang istimewa. Aku butuh lebih banyak waktu untuk menghabiskan tiap detikku dalam merayakan sebuah kehilangan. Kehilangan yang seharusnya sudah digantikan dengan begitu banyak 'penemuan baru'.

Kalau boleh jujur dan jika saja aku berani, tentu saja aku akan memilih untuk kembali pada sekeping hati yang dulu pernah kutinggali. Hati yang tak pernah menghangat, namun juga tidak dingin dan menyakitiku. Meski jika diingat ingat, ada banyak hal yang membuat hati kian nelangsa. 

Mulai dari amukan jarak, ego yang menikam, kebosanan yang ampun ampunan, dan pikiran dalam dua kepala yang tiba tiba bisa meledak. Tetapi aku selalu berusaha untuk menyuguhkan kata setia. Menerima, memahami, mengerti, meski harus jatuh berkali kali.

Hati itu, kini ada di sampingku.

Tidak mudah untuk kembali percaya. Ditutupi dalam bungkusan usang bernama 'persahabatan'? Semuanya hanya sekedar topeng. Aku masih belum rela jika dia bercerita tentang perempuan lain. Meskipun di sambungan telepon aku bisa tertawa tawa riang merespon ceritanya yang terdengar asyik, meskipun aku berusaha untuk tertarik dengan kawanan nama nama perempuan baru yang ia taksir. Terlepas dari itu semua, aku sungguh terluka.

"Kota Malang cantik ya?" gumamnya memecah hening. Kuusap dua tetesan bening dari sudut mataku. Aku mengangguk.

Persahabatan, persahabatan macam apa yang membiarkan seseorang saling memanggil dengan kata 'Sayang'?. Persahabatan macam apa yang membolehkan saling melempar rasa khawatir berlebihan?. Apa yang perlu dibenarkan dari 'sering mengirim hadiah' meski tidak sedang berulang tahun?. Persahabatan jenis apa yang menghalalkan dering telepon pukul tiga pagi?.

"Ta" panggilku pelan setelah sekian detik meredam berbagai guncangan di dadaku. Aku harus katakan saat ini juga. Sebelum aku kehilangan untuk kesekian kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun