Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kembali

5 Maret 2019   11:20 Diperbarui: 5 Maret 2019   11:27 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sayang, aku sudah sampai di stasiun Kota Baru"

Jantungku nyaris berhenti berdenyut. Aliran darahku tiba tiba melambat, aku tercekat. Secepat kilat kubenahi letak buku buku di depanku yang masih berserakan. Pontang panting kukembalikan komputer jinjingku ke dalam tas. Aku bersiap pergi, tetapi lebih dulu kurapikan perasaanku yang mulai awut awutan.

Meninggalkan gedung perpustakaan kota, aku dilarikan sebuah mesin dengan kecepatan cukup tinggi. Menyibak kerumunan dengan aneka warna urusan di dalamnya. Jalan Idjen-Semeru tidak pernah seindah ini. Aku dihantam perasaan bahagia yang bertubi tubi. Nyaris gila rasanya, tak kupedulikan lirikan Abang Ojol (Ojek Online) yang sedari dari tadi tergidik melihatku senyam senyum sendiri.

Koper besar, tas punggung, bandana warna merah yang bertengger di kepala, jam tangan hitam legam, tiga gelang berhiaskan batu giok abu abu adalah serangkaian benda yang melekat di tubuhnya. Aku hampir pangling dengan penampilan barunya yang terlihat sangat berbeda dari terakhir kali kami bertemu.

"Selamat datang di Kota Malang" sambutku dengan riang. Dia tersenyum, berusaha membenamkan tubuh kecilku ke dalam pelukannya. Tapi aku menolak.

"No! Naughty Boy!" kataku setengah mendelik. Dia terbahak. Melepas kacamata hitamnya yang ditimpa cahaya matahari. Tangannya menarik tubuhku, memasangkan tas ransel ke punggungku kemudian memberikan isyarat agar aku berjalan lebih dulu.

Terseok seok langkahku mengimbangi langkah kaki besarnya. Kami berjalan menuju depan balai kota. Memesan taksi daring kemudian kembali saling terdiam di dalam pikiran masing masing.

"Kamu apa kabar?" tanyaku, memecah keheningan saat mobil yang kami tumpangi melewati jalan di depan rumah rumah bergaya kolonial.

Dia masih terdiam, menikmati pemandangan yang menyapa matanya. Senyumnya tercetak, simpul namun mengena. Aku seperti bisa meraba raba sedikit yang ada di pikirannya saat ini.

"Baik, sehat, seperti yang kamu lihat. Kamu?" jawabnya setengah berbisik, seolah tak ingin driver kami menguping satu dua kalimat dari bibirnya.

"Tidak lebih baik dari pada ketika masih memilikimu, hahahaha"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun