"Aku ingin mati saja!!" perempuan itu mengeliat, wajahnya merah, matanya terbelalak, di sela sela nada bicaranya yang meninggi kusempatkan untuk menggosok punggungnya dengan berbagai macam merk balsam.
Namanya Maria. Orang orang memanggilnya dengan sebutan Ria atau Mari. Hanya aku yang boleh memanggilnya Maria, itupun karena aku saudara sepupunya. Tidak banyak yang tahu jika perempuan ini sudah tinggal di rumahku selama tiga minggu.
Dua bulan yang lalu aku menemukannya dalam keadaan sangat mengenaskan di kamar kosnya. Wajahnya yang ayu berubah tirus. Tubuhnya yang padat berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. Aura ceria yang dulu kerap mewarnai wajahnya kini tak lagi ada. Semuanya menguap bersama suatu hal yang ingin segera kuselesaikan jika aku mampu. Putus cinta.
"Kamu harus ke psikiater" kataku saat dia sudah mulai bercerita macam macam dan bukan bukan. Maria langsung tergidik. Dia memegangi lenganku. Memohon agar dia tak dibawa kemana mana sekalipun hanya ke dokter.
"Jangan Mbak Ra, aku hanya ingin beristirahat" katanya dengan pipi penuh dengan air mata.
Maria kubawa ke rumah. Kurawat sebagaimana aku memperlakukan seorang adik. Namun begitu aku tak bisa memberi tahu siapapun tentang keadaannya meskipun kepada keluarga.
"Aku takut membuat Ibuk khawatir" katanya di hari aku membaringkan tubuhnya di ranjangku.
Hari demi hari berlalu. Keadaan Maria tidak bertambah baik. Setiap kali ia membuka ponselnya, ia menangis. Tidak jelas apa yang dia ributkan dengan pikirannya. Dia senantiasa meraung raung, menyebut nama kekasihnya yang kini telah memiliki kekasih baru. Maria tak ingin jauh jauh dari ponselnya, namun aku semakin yakin dia bisa gila jika begini terus menerus.
"Ia harus dijodohkan dengan angin"
Seperti ada yang membisikkanku secara tiba tiba. Maria adalah manusia, bagaimana mungkin dia akan bercinta dengan angin?. Buru buru aku merampungkan urusanku saat itu juga, mengejar bus paling cepat menuju rumah, menemui Maria di kamarnya yang dulu adalah kamarku.
"Mbak" Maria memanggilku pelan ketika aku baru saja menyibak sekat ruangan yang memisahkan antara kamar Maria dengan ruang tamu. Aku mendekat, menempelkan punggung tanganku pada jidatnya. Panas.