Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tujuh Belas Menit Terakhir

28 September 2018   12:20 Diperbarui: 28 September 2018   12:46 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Minggu depan? Semeru?"

Lelaki ini tidak menjawab. Dia sibuk dengan gulungan tembakau di tangannya. Kepulan asap mengenai hidungku, menyeruak bersama harum napasnya. Aku tahu dia akan pergi dengan atau tanpa izinku. Memberi tahu saja sudah menjadi suatu keberuntungan, hal yang tidak biasa.

            "Dua sampai empat hari dari jam keberangkatan" sambungnya. Dia ikat rambutnya yang ikal hitam. Memeriksa tasnya, kurasa ia sedang memastikan keberadaan tiketnya agar tetap aman.

            "Kapan berangkat?" tanyaku.

            "Lusa" jawabnya singkat. Dia bangkit dari tempat duduknya. Mengangkat tustel kemudian membidik pada salah satu objek yang menurut orang awam sepertiku biasa saja.

Itulah Rimba, kekasihku. Boleh jadi kalian tak suka dengannya. Sudah menjadi hal biasa kami tak saling sapa selama sepekan dua pekan. Dia tak mengabari kemana dia akan pergi, dia cuma yakinkan bahwa dia akan baik baik saja. Aku dilarang mengkhawatirkannya, tak boleh menghalangi apa apa yang ia ingin lakukan. Termasuk jika itu berhubungan dengan kepentinganku, merindukannya misalnya.

Sore ini kami bertemu setelah dia selesai dari sebuah tour. Sejak ia bergabung  dengan sebuah grub musik jazz dan dipercayai memegang bass, dia jadi lebih sering keluar kota.

Meninggalkan rutinitas fardhu ainnya, kuliah. Bahkan sepertinya dia tidak akan ambil pusing jika harus menghabiskan masa muda di kampus dengan empat belas semester penuh, atau lebih. Dengan nilai yang biasa biasa saja, dengan prestasi akademis yang ala kadarnya. Kurasa yang terpenting buat hidupnya adalah tak sepi ketika ia berkunjung ke warung kopi. Lelaki ini sedemikian bebasnya, sedemikian santainya menjalani hidup.

Namun hal itu menjadikan aku ditimpa keragu raguan.

            "Ibuk menanyakan kamu" kataku basa basi setelah berdiri di dekatnya. Dia tak menoleh, sibuk membersihkan lensa. Memutar mutar perangkatnya kemudian kembali mencari sudut yang tepat untuk mengambil gambar.

Sejujurnya bukan menanyakan, tapi lebih kepada ingin kembali bertemu. Kembali untuk mengamati. Lewat kaca mata beliau yang sudah banyak makan asam garam, secara sekilas aku menyadari jika beliau sedikit tak suka. Atau malah, sangat tidak suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun