Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Tenang

21 Mei 2018   15:21 Diperbarui: 21 Mei 2018   15:33 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dua diantaranya Fortuner, satu Innova keluaran terbaru, Honda Jazz dan yang kemarin ada Kijang metalic" seseorang berbisik bisik pada sekumpulan yang lainnya. Rokok dan kepulan kopi berpadu dengan manusia manusia penyuka malam yang mulutnya telah berbusa busa, menyuarakan apa yang ada di pikiran dan pernah mereka saksikan dengan mata.

"Tidak cuma kembang, ada golek* yang tersangkut di jaring Lik Pardi. Besok kita telusur lagi, jangan sampai ini berlarut larut. Mengerikan" seseorang menimpali, menyedot rokoknya yang tinggal separuh. Pemilik kedai menambahkan gorengan pada nampan yang telah kosong, menggenapi bunyi perut keroncongan yang kadang lebih karena tak sempat pulang ke rumah.

Semua orang sibuk dengan pencarian.

Beberapa kepala memutuskan untuk tidak memperbaiki sampan kecil mereka, mengalah pada kasak kusuk yang sedang beredar. Ada pula yang masih berani, mengambil resiko karena padi telah menguning. Menyeberang air waduk yang sudah tak tenang, kabarnya. Apa boleh buat? Masalah perut harus mempertaruhkan nyawa. Cemas menghinggapi, siapapun. Bagi siapa saja yang berladang dengan menantang maut menyeberangi air waduk.

"Orang orang itu tahunya kita hanya bisa diam. Padahal kalau kita mau, semuanya bisa balik. Mereka seperti sudah tak kenal karma saja. Setelah teror siluman ular, apalagi? perempuan berambut tergerai memanggil manggil?" pemilik warung ikut nimbrung. Dia memang tak punya sawah seperti orang orang yang mampir ke kedainya. Tapi perbincangan setiap jam dalam dua hari terakhir telah cukup menambahkan pengetahuan mengenai banyaknya orang yang datang ke desa itu tanpa permisi, kabarnya memasang tumbal ke dalam waduk. Menjebak nyawa nyawa manusia tak berdosa dengan jimat atau sesajen guna memuja peliharaan mereka jika ada korban yang tewas.

Peristiwa itu tak hanya sekali dua kali, bahkan hampir setiap musim. Berulang.

"Jadi kita harus menunggu keputusan Pak Darto untuk memeriksa setiap orang yang datang ke waduk. Tidak bisa dibiarkan begitu saja kita dalam situasi seperti ini. Kepala Desa harus turun tangan, jangan sampai kita yang turun celurit" Lik Agus mematikan rokoknya. Kelihatan bernafsu untuk segera menangkap siapa pelaku utama yang tempo hari menewaskan dua anggota keluarganya.

Semuanya diam, ada yang sangsi, ada yang mengangguk angguk setuju.

Bukan perkara mereka tahu Pak Darto adalah manusia paling berkuasa di kampung. Tetapi lebih kepada kekuatan politiknya yang tak diduga duga. Beliau bisa berhubungan dengan siapa saja tak terkecuali jika dia mau menghentikan orang orang asing yang keluar masuk desa. Bukankah itu teramat mudah baginya?

Bulan masih temaram. Masih jauh untuk menuju tanggal limabelas. Kedai semakin riuh dengan perbincangan mengenai sawah, air, waduk, misteri perempuan cantik yang setiap pertengahan bulan muncul di tengah air waduk dan juga tentang harga harga yang melonjak naik. Menipiskan kantung kantung mereka. Mata mereka terus terjaga, ditahan oleh bergelas gelas kopi sachet seribuan yang terus mereka pesan.

Malam smakin larut, pikiran semakin kalut. Carut marut memagut lutut, desa tak boleh terlelap. Mereka harus waspada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun