Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebuah Percobaan Bunuh Diri

14 Mei 2018   08:35 Diperbarui: 14 Mei 2018   12:23 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka mengenalku sebagai pribadi yang ceria dan suka mengalah.

Padahal di balik itu aku seringkali termenung dan muram. Banyak waktu kuhabiskan untuk berlama lama mengaduk cangkir kopiku dengan sendok hingga hampir bengkok.

Atau aku akan melamun semalaman di depan komputer jinjing tanpa melakukan apa apa. Aku akan menganyam ingatan yang tidak terlalu penting namun menghindar dari masalah yang benar benar genting. Kadang kadang aku merasa bahwa di tubuhku ini ada sejumlah setan yang mengacaukan segala bentuk kewarasan yang kupunya, entah berapa jumlahnya.

Mataku sering berkunang kunang tanpa sebab. Dua tiga kali aku ke psikiater katanya aku hanya bergejala depresi, kurang tidur dan terlalu sedikit makan. Aku juga sering berjalan terhuyung huyung meski tidak sedang keluar dari kelab malam ataupun terpengaruh oleh bir, aku baik baik saja namun entah mengapa seperti kehilangan aura.

Beberapa kali aku mencoba untuk mengakhiri hidupku sendiri. Padahal aku tahu cara itu akan memutus rantai kenikmatan dunia. Aku tidak akan pernah bertemu dengan Papa dan kumisnya. Aku tidak akan bisa merasakan sedap masakan Mama setiap hari minggu, di setiap jadwalku mengunjunginya. Lebih parah lagi ketika aku benar benar mati, aku tidak bisa menciumi leher Beny, pacarku yang tampan dan rupawan. Bunuh diri tidak ada gunanya, itu hanya membuang buang waktu.

Tetapi di hadapan kawan kawanku yang loyal dan berisik aku tidak mau menunjukkan bahwa sesungguhnya jiwaku perlu pertolongan. Aku biasa menghias bibirku dengan senyum dan tawa renyah. Akan terasa aneh kalau tiba tiba aku berbisik kepada Tita yang sexy dengan kalimat "Ta, gimana kalau aku mati saja?" tentu Tita akan mencegah karena aku adalah satu satunya teman yang sering mentraktirnya minum martini. Atau kalau aku mengutarakan niatku pada Rosa yang pernah mengajariku menghisap tembakau dengan cara cara yang benar "Ros, aku mati saja ya?" dia pasti akan mencengkeram lenganku kuat kuat, membujukku untuk tak melakukan itu, atau boleh melakukannya asal mobil baruku diwariskan padanya untuk bisa menemaninya jalan jalan.

Aku pernah mendengar banyak cerita tentang praktik aborsi. Kabarnya itu cukup sederhana. Kau hanya perlu membuat anak dengan pacarmu lalu buatlah pacarmu tak punya rasa tanggung jawab. Ketika cairan itu menancap pada rahimmu kemudian berubah menjadi seonggok daging yang tumbuh, kamu perlu mematikannya dengan cara mendatangi praktik dukun ilegal, menyerahkan nyawa pada tusukan gunting. Itu kalau kamu beruntung, kabarnya kamu bisa mati. Tetapi kalau tidak, mungkin saja resiko badan yang tak sehat seumur hidup.

Aku ngeri sendiri, sepertinya metode itu tak cocok untukku.

Dipikir pikir cara cara lain seperti menenggak racun, menghirup gas, memakan berbagai macam obat dalam dosis yang besar atau menabrakkan diri di depan tubuh kereta api juga tidak ada elegan elegannya sama sekali. Terlalu klise, monoton, masak hanya itu itu saja caranya.

Sampai berbulan bulan aku memikirkannya. Kurus sudah badanku. Beny sampai marah marah karena setiap kami bertemu aku menolak untuk makan.

"Lama lama kamu bisa mati kalau tidak mau makan begini" ujarnya dengan wajah penuh kekesalan saat menghabiskan dua porsi makanan yang ia pesan sembari bersungut sungut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun