Mohon tunggu...
Humaniora

Kasus Mirna dan Investigasinya - The Trial (Continued - Part 2) - Observation and Theory Progressing

31 Agustus 2016   15:55 Diperbarui: 8 September 2016   13:38 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“When you have eliminated the impossible, whatever remains, no matter how improbable, must be the truth.” – SH - The Sign of Four

“I can see nothing,” said Watson. “On the contrary, Watson, you can see everything. You fail, however, to reason from what you see. You are too timid in drawing your inferences.” – SH - The Adventure of the Blue Carbuncle

Selamat Siang,

Tulisan kali ini melanjutkan tulisan-tulisan sebelumnya mengenai Kasus Mirna, Investigasinya, dan persidangannya. Seperti sebelum-sebelumnya, penulis tidak ingin mendahului keputusan pengadilan, tidak ingin memvonis terdakwa bersalah, ataupun menuduh pihak lain.

Tulisan kali ini mengulas tentang lanjutan persidangan dimana Saksi Ahli Toksikologi Forensik dari Bali (I Made Agus Gelgel) memberikan keterangan (https://www.youtube.com/watch?v=8fKPHcKdPOc).

Dilanjutkan dengan kesaksian dokter UGD RS Abdi Waluyo yang menangani Korban ... 

Dilanjutkan dengan kesaksian Ahli Kedokteran Forensik yang memberikan kesaksiannya per tanggal 31 Agustus 2016 hari ini :)

Keterangan Saksi Ahli Toksikologi Forensik I Made Agus Gelgel Wirasuta

Saksi Ahli kali ini melakukan analisa-nya berdasarkan dari data dan fakta yang ditemukan, dimana diketemukan 0.2mg Sianida didalam lambung Korban. Dari jumlah tersebut, Saksi Ahli menghitung mundur berdasar formulasi reaksi penetralan untuk memprediksi jumlah Sianida yang masuk saat Korban meminum VIC yang bercampur Sianida tersebut.

Dari sudut pandang penulis, metode saksi ahli toksikologi forensik kali ini lebih logis dan lebih sesuai untuk menyidik.

Menurut keterangan Saksi Ahli Toksikologi Forensik:

- Dari Reaksi Penetralan, diprediksi 183mg Sianida masuk.

- Saksi Ahli juga melakukan percobaan dengan memasukkan campuran Vietnam Ice Coffee dengan Sianida. Dari percobaan2 yang dilakukan dilihat hasilnya perubahan warna dan ada aroma yang tercium.

- Kerusakan pada lambung adalah bukti bahwa Sianida dalam jumlah besar masuk kedalam lambung.

- Kerusakan pada lambung ini meniadakan pelindung/pemisah sehingga Sianida akan semakin mudah masuk kedalam Darah

- Analisa atas Darah Korban tidak dilakukan pada hari Korban meninggal; Darah Korban diambil 3-hari setelah kematian, setelah melalui proses embalming.

- Dalam Darah Korban tidak ditemukan Sianida, maupun Thiocyanate (https://en.wikipedia.org/wiki/Thiocyanate) karena seperti Sianida, Thiocyanate juga merupakan senyawa yang gampang bereaksi dan berubah. Jadi menurut Saksi Ahli, ini alasan kenapa tidak ditemukan lagi Asam Thiocyanate dalam darah maupun organ.

Keterangan Dokter Prima dan Dokter Didit, Dokter Umum di Unit Gawat Darurat (UGD) RS Abdi Waluyo

Dalam keterangan yang diberikan oleh Dokter Prima dan Dokter Didit (Aditya), yang bisa penulis tangkap:

- Dokter Prima bekerja di Shift Siang (Jam 12:00 - 19:00 WIB)

- Korban datang ke UGD di jam 18:00 WIB dan sudah menunjukkan DoA (Death On Arrival) karena sudah Henti Nafas dan Henti Jantung.

- Dokter melakukan RJP (Resusitasi Jantung dan Paru) menggunakan teknik manual selama kurang lebih 15-menit untuk berusaha menyadarkan Korban.

- Henti Jantung dan Henti Nafas tetap terjadi; Dikonfirmasi dengan EKG (Elektro KardioGram) dimana denyut jantung tetap tidak ditemukan (flat).

- Secara Ofisial, dinyatakan Korban Mati/Meninggal jam 18:30 WIB .... meski sebenarnya sudah Mati Klinis (henti jantung dan henti nafas) sebelum jam 18:00 WIB; sebelum tiba di RS Abdi Waluyo.

- Korban tampak pucat di kulit-nya, tapi untuk bibir korban, satu dokter mengatakan pucat (Prima), dokter yang lain mengatakan kebiruan (Didit).

- Menurut Keterangan Dokter Didit, jam 19:40 WIB ada permintaan dari Keluarga untuk mengambil sampel cairan lambung <-- ini menarik :)

- Dokter Didit juga mengatakan bahwa dilakukan CT Scan (CT Brain Scan) dan tidak diketemukan kelainan.

-Teman Korban menunjukkan kecemasan karena menurut Hani dia juga minum dari gelas yang sama (ini kemudian somehow berbeda di BAP dimana Hani berkata bahwa dia hanya mencicip); Hani diperiksa oleh Dokter UGD dan tidak diketemukan kelainan.

- Terdakwa juga mengatakan mengalami gangguan sesak nafas yang oleh terdakwa dikatakan memiliki latar belakang medis penyakit Asma; saat diperiksa, Dokter UGD mengkonfirmasi adanya kelainan pernafasan, tapi tidak ada ditemukan "bunyi" yang khas dalam pernafasan oleh penderita Asma.

Keterangan Saksi Ahli Kedokteran Forensik Prof Dr Budi Sampurna

Beberapa keterangan yang diberikan oleh Saksi Ahli Kedokteran Forensik yang bisa dicatat oleh Penulis; bisa dibilang keterangan yang diberikan masih dalam nuansa yang lebih netral dibandingkan keterangan saksi ahli toksikologi forensik selama ini.

- Gejala dan Kematian Korban bersesuaian dengan Keracunan Sianida.

- Otopsi dilakukan beberapa hari, setelah proses embalming dilakukan; ini bisa menjadi penjelasan kenapa hanya ditemukan sianida dalam jumlah sedikit sekali didalam tubuh Korban.

Beberapa referensi yang Penulis temukan.

Contoh gejala kematian karena Sianida; Kasus Michael Marin yang melakukan bunuh diri didalam pengadilan saat divonis oleh Hakim disini; disitu tampak (dan terdengar juga) bahwa Michael Marin muntah2 parah. Muntah2 parah ini yang tidak terjadi didalam Korban Mirna Salihin.

Proses kerja Sianida bisa dilihat disini. disitu bisa dilihat bahwa senyawa Sianida (CN) itu mengikat ke Mitochondria sel dan menghambat Sel2 tersebut mengikat Oksigen sehingga Oksigen tersebut tetap berada didalam darah dan meningkatkan konsentrasi O2 didalam darah. ini yang kemudian tampak sebagai tanda-tanda cherry-red di kulit dan permukaan tubuh.

Observasi, Inferensi, dan Kelanjutan Teori.

Dari jalannya persidangan selama ini, penulis melihat kesaksian-kesaksian yang diberikan, itu semua berdasarkan atas otopsi yang dilakukan setelah 3-hari sejak Korban meninggal.

Ini menarik karena yang menjadi "halangan" sering dikatakan adalah keluarga korban. Kenapa Menarik? Karena dalam keterangan dari Dokter UGD, dikatakan bahwa mereka melakukan pengambilan sampel lambung (jam 19:40WIB) atas permintaan Keluarga Korban.

Kenapa ini menarik bagi Penulis? Karena pengambilan sampel lambung bukanlah prosedur umum dalam UGD dan ini permintaan dari keluarga korban.

Kalau dicoba dirunut, Korban masuk UGD sekitar 18:00 WIB dan secara ofisial dinyatakan meninggal jam 18:30 WIB. Dikatakan oleh Dokter UGD (Didit), beliau melihat ada Suami Korban, Ada Teman Korban, ada Terdakwa juga disana.

Dari keterangan Dokter UGD, tidak ada disimpulkan bahwa kematian korban karena keracunan dsb (korban sudah henti nafas dan henti jantung saat sampai di UGD; korban pucat, bibir kebiruan (asphyxia - sesak nafas; bisa karena hal lain), tidak ada muntahan)

Dari mana muncul kecurigaan bahwa Korban keracunan sehingga Keluarga ber-inisiatif meminta diambil cairan lambung?

Dan kalau sudah ada kecurigaan, kenapa otopsi tidak diminta dilakukan saat itu juga?

Kalau dibandingkan dengan keterangan dari Ayah Korban (contoh dalam wawancara hari ini 31 Agustus 2016 seusai sidang), kesannya kecurigaan itu di-inisiasi oleh Kepolisian saat ditanyakan kepada dirinya "Ed .. menurut lo, kematian anak lo wajar ndak?"

Penulis melihat bahwa disini ada diskripansi karena somehow keluarga sudah memiliki kecurigaan keracunan sejak Hari-H (makanya inisiatif meminta diambil cairan lambung); tetapi katanya karena inisiasi oleh Kepolisian. LALU, kalau memang sudah ada kecurigaan keracunan sejak Hari-H ... kenapa hanya sampel cairan lambung yang diambil? tidak dilakukan otopsi penuh?

Ini menjadi tanda-tanya bagi penulis ... Kenapa demikian?

Mungkin kita perlu coba bikin timeline-nya ... dari informasi yang Penulis miliki lewat kesaksian-kesaksian di persidangan, Jenasah Korban sudah berpindah-pindah lokasi dan berada di lokasi yang bisa di akses oleh siapa saja dalam rentang Hari-H sampai H+3 (otopsi).

Ini adalah sesuatu yang sebenarnya sangat "mengganggu" atau "menghambat" untuk dicapainya suatu keputusan yang beyond reasonable doubt. kenapa? karena apa saja bisa terjadi dalam rentang 3-hari itu terhadap apa yang akhirnya ditemukan dalam otopsi.

Akhirnya, kita melihat bahwa embalming dengan Formalin ini menjadi "alasan" untuk tidak ditemukannya ratusan miligram Sianida didalam tubuh Korban. Logisnya, kalau masuk sekian miligram, maka kurang lebih jumlah miligram yang sama harus ditemukan didalam sistem tubuh korban.

Tapi karena adanya rentang waktu ini ... maka ini menjadi convenience karena bisa menjadi "penjelasan" kenapa parameter-parameter lain yang berkaitan dengan Keracunan Sianida tidak ditemukan.

Sejauh ini ... Observasi, Inferensi, dan Teori yang penulis berikan di tulisan-tulisan sebelumnya masih cukup valid; belum perlu disesuaikan/diubah.

- Kopi Korban mengandung Sianida dalam jumlah besar; tapi Sianida ini tidak mengalami Kontak dengan Kopi di jam 16:30-16:45 WIB; yang lebih sesuai dengan fakta adalah Sianida kontak dengan Kopi di kisaran jam 17:00-17:20 WIB saat mereka bertiga sudah di lokasi.

Dari percobaan yang dilakukan Ahli Toksikologi Forensik (I Made Agus Gelgel Wirasuta), beliau melakukan 5-kali percobaan dengan panelis (karyawan Kafe Olivier; di Kafe Olivier) dimana mereka bisa mengamati langsung perubahan warna dan terciumnya aroma Sianida.

Mengingat tidak adanya seorangpun yang melihat Kopi Korban berubah warna saat Terdakwa sendirian (sejak 16:30 sampai saat Korban dan Teman Korban datang di 17:00-17:20 WIB) dan tidak ada seorangpun disekitar Terdakwa yang mencium adanya aroma (bahkan beberapa kali petugas Kafe datang kedekat Terdakwa, tidak ada yang raising any flag; maka Penulis menarik Inference bahwa Sianida tidak mengalami kontak dengan VIC di jam itu.

- Korban meminum Kopi bersianida, tetapi jumlahnya tidak mencapai lethal dose.

Kenapa Penulis menarik Inference demikian, karena Korban tidak sampai muntah-muntah. Coba bandingkan dengan rekaman video Michael Marin yang bunuh diri di ruang sidang saat dijatuhi vonis oleh Hakim. Kalau Korban meminum dalam jumlah Lethal Dose, maka Korban juga akan muntah-muntah parah seperti Michael Marin di Video tersebut.

Lalu ditambah dengan kenyataan/fakta bahwa Korban dibawa ke Klinik di GI dimana Korban tidak dinyatakan Mati/Meninggal (baik itu Mati Klinis) oleh Dokter Klinik (belum henti nafas; belum henti jantung). Malahan Dokter Klinik menyatakan bahwa kondisi Korban tampak normal, memang nafasnya berat, tapi tidak ada kondisi-kondisi apapun yang memancing inisiatif seorang dokter untuk melakukan Pertolongan Pertama bagi korban keracunan.

Oleh karena itu Penulis menarik Inference bahwa Sianida yang terminum tidak mencapai Lethal Dose.

- Korban mati/meninggal atau bahkan bisajadi dibunuh dalam perjalanan dari Klinik GI ke RS Abdi Waluyo.

Kenapa Penulis menarik Inference demikian, karena ini bersesuaian dengan keterangan Dokter UGD dimana Korban DoA (Death On Arrival); Korban sudah mati secara klinis (henti nafas dan henti jantung) saat tiba di UGD; ini menunjukkan dan menguatkan bahwa Korban meninggal didalam perjalanan dari Klinik di GI ke RS Abdi Waluyo.

Penulis meragukan Korban benar-benar mati/meninggal karena Sianida karena kematiannya "lama"; kalau benar terminum sebanyak itu, Korban meninggal dalam hitungan menit sehingga sewaktu dibawa ke Klinik GI pun, sudah henti nafas dan henti jantung.

Lalu, bibir kebiruan itu adalah sebenarnya tanda-tanda Cyanosis dimana Korban kekurangan Oksigen. Tidak ada diketemukannya Tanda-tanda Cherry Red (bahkan sampai ke saat Embalming sekalipun; yang sudah diatas 4-jam sejak korban meninggal) juga menguatkan kematian bukan karena Sianida. Kenapa? Karena Ion CN Sianida itu akan mengikat dirinya ke Mitochondria (lihat video cara kerja sianida di atas) dan menghambat sel-sel menyerap oksigen dari darah. Ini justru menjadikan tingginya Oksigen dalam Darah (karena tidak "diambil" oleh Sel-Sel tubuh)

Kalau seharusnya Korban menunjukkan tanda-tanda saturasi oksigen dalam darah ... kok Korban sampai di UGD RS Abdi Waluyo dengan tanda-tanda kekurangan Oksigen dalam darah?

Ini lah kenapa penulis menarik Inference bahwa Korban mati/meninggal atau bisa jadi bahkan dibunuh dalam perjalanan dari Klinik GI ke RS Abdi Waluyo.

Dalam Tulisan sebelumnya, Teori yang penulis miliki tampaknya masih relevan:

- Terdakwa tidak melihat tanda-tanda kondisi kritis dimana Korban tampak terkulai, sesak nafas, kejang-kejang tapi tidak muntah-muntah. kondisi ini memang memerlukan penanganan, tapi bagi seseorang yang sudah lama menetap di negara dengan Good Samaritan Law dimana perlindungan bagi yang menolong tidak berlaku jika berada dalam pengaruh Alkohol atau obat-obatan .. maka sikap "tidak-tanggap" ini sebenarnya kewajaran.

Penulis justru heran ... Teman Korban tau darimana bahwa Korban "akan segera meninggal" kalau tidak diberikan pertolongan segera? Disini Penulis melihat kepanikan Teman Korban ini tampaknya "tersesuaikan" dengan hasil akhir (bahwa Korban akan meninggal).

- Terdakwa memang memiliki masalah di Australia, tapi semua masalah itu berkaitan dengan (mantan?) pacarnya, Patrick. Justru yang terlihat adalah fakta bahwa Korban tidak berkeberatan "berpisah" dengan Patrick, meski itu harus membunuh-dirinya sendiri (bukan membunuh Patrick). Dan tampak bahwa Terdakwa itu sangat menghargai mereka-mereka yang berada didekatnya. Memang Terdakwa menaruh harapan atas mereka-mereka didekatnya untuk memberi support dalam menghadapi masalahnya dengan Patrick, tapi Terdakwa tidak pernah menunjukkan sikap atau tindakan membahayakan mereka-mereka yang didekatnya. justru yang tampak adalah bahwa lebih baik dia menyakiti dirinya sendiri (meski ini bisa jadi membahayakan orang lain disekitarnya) ketimbang secara langsung menyakiti orang lain yang didekatnya.

Ini aneh karena keterangan Suami Korban, seolah-olah Terdakwa ini tidak terima dinasehati untuk pisah dari pacar terdakwa; sementara dari fakta-fakta yang ada, Terdakwa tidak pernah bersikap keberatan untuk berpisah; bahkan rela "menyakiti dirinya" (percobaan bunuh diri) untuk berpisah.

Jadi, dalam teori skenario yang penulis miliki, Percobaan pembunuhan atas Korban dilakukan di dalam Kafe Olivier, tapi tidak berhasil karena korban tidak meninggal saat itu juga. Korban bahkan masih hidup saat meninggalkan Klinik di GI sehingga mau-tidak-mau harus "diselesaikan" didalam perjalanan dari Klinik GI ke RS Abdi Waluyo.

Bisa jadi Korban yang sudah tidak berdaya terbaring di mobil dibekap sehingga korban akhirnya meninggal dalam perjalanan ke RS Abdi Waluyo dan menunjukkan Cyanosis pada bibir korban (tanda asphyxia; korban kekurangan oksigen).

Sejumlah sianida lalu dimasukkan kemudian kedalam lambung korban untuk merusakkan lambung, bereaksi dengan asam lambung sehingga ternetralisasi (tapi tidak terserap kemanapun lagi - korban sudah meninggal - ini menjelaskan kenapa Lambung Rusak parah, tapi tenggorokan tidak rusak). Kemungkinan dari Ahli Kedokteran Forensik karena kontaknya sebentar, tapi se-sebentar-sebentar-nya kontak teresebut, tenggorokan itu lapisan dalam tubuh yang sangat sensitif ... sangat mudah ter-korosi oleh bahan-bahan sangat korosif seperti itu. jadi sebenarnya kenapa tenggorokan tidak tampak rusak bisa karena 2 hal:

- kontaknya sangat sebentar

- tidak kontak; sianida langsung dimasukkan kedalam lambung.

Mari kita saksikan kelanjutan persidangan ini; penulis menilai persidangan ini sangat mendidik karena memberikan banyak informasi mengenai proses penyelidikan dan proses-proses peradilan dalam kasus pidana yang sangat berat seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun