Mohon tunggu...
Imron Maulana
Imron Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Aktif sebagai pegiat literasi KOMPAK

Mahasiswa aktif di IAIN Madura

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

HMI Pamekasan, Dinamika Wacana dan Hororisme

13 Januari 2018   20:02 Diperbarui: 13 Januari 2018   20:24 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lintasgayo.co

Untuk memulai tulisan ini, aku ingin bercerita tentang darimana dan mengapa aku memilih berkader di oraganisasi mahasiswa tertua di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ketika itu tahun 2009, aku masih duduk dibangku madrasah tsanawiyah, aku sering diceritai oleh pamanku bahwa besok ketika aku sekolah di perguruan tinggi akan bertemu dengan berbagai organisasi kemahasiswaan yang salah satunya adalah HMI.

(pada waktu itu dia memang tidak menyebutkan apa saja organisasi kemahasiswaan itu, entah apa memang ingin menyembunyikan atau memang hanya ingin mengenalkan aku pada organisasi yang disebutkan, bukan untuk yang lain-lain) dia bercerita dengan segala kemampuannya berfantasi, bahwa di HMI adalah tempatnya para pemikir modern dan kebanyakan para kadernya mempunyai kemampuan berpikir yang luas, kritis, dinamis, dan inovatif.

Aku yang cupu dan tidak mengerti apa-apa hanya bisa mengangguk asal mengangguk dari setiap patah kata yang paman sampaikan, apalagi saat dia bercerita tentang ke-asikannya berdiskusi dengan kawan-kawannya, begitu dia menyebutnya dulu, di warung kopi, katanya tak ada pembicaraan bersama mereka yang tidak berlandasan, semua yang dibicarakan mempunyai isi dan bermakna dalam.

Begitupun dengan setiap patah kata yang disampaikan oleh dia, sebentar -- sebentar mengeluarkan pernyataan tokoh ini dan tokoh itu untuk menguatkan argumennya. Dan tidak jarang dia menyuruh aku untuk membaca agar wawasanku semakin luas dan dinamis, juga dia tidak hanya menyuruh membaca, adakalanya dia mengarahkanku pada buku apa yang harus aku baca, mula-mula dia memukadimahiku agar aku tertarik membaca buku tersebut.

Dengan itu aku menjadi mempunyai spirit untuk belajar dan cepat masuk ke perguruan tinggi untuk segara masuk HMI. Bukan untuk belajar di kampus dengan ruang berbentuk kotak, bangku berbaris bersaf-saf menghadap papan tulis dan lengkap disampingnya meja dosen. Melainkan untuk belajar bersama di HMI.

***

Fantasi yang diceritakan paman pada masa itu ternyata bukan sebuah fantasi seperti di negeri dongen. Tahun 2013 aku menemukan semua cerita itu nyata adanya, bersentuhan secara langsung ketika aku ikut latihan kader I (basic training), latihan yang menggodok dan memutar-mutar pemikiran.

Dengan para narasumber yang hebat dan berkualitas aku menjadi percaya bahwa HMI mencetak kader intelek -- religius. Dan dari Latihan Kader I ini aku bisa memahami mengapa organisasi tersebut harus dibentuk dan untuk apa dibentuk.

Sederhana namun progresif alasan organisasi kemahasiswaan ini dibentuk, untuk menciptakan kader yang peduli terhadap kondisi bangsa dan keadaan umat Islam. Dengan membina insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Jelas progresif, berdasar pada anggota HMI "Mahasiswa" maka HMI berupaya untuk membina dan mengembangkan ide, bakat dan potensi yang mendidik individu-individu, pribadi-pribadi para anggota serta membina untuk mencapai tujuan dengan cara perjuangan yang benar dan efektif. Mengapa harus pribadi kader yang menjadi objek tujuan HMI? 

Karena HMI bukan organisasi massa dan apalagi sebagai organisasi kekuatan politik (praktis), melainkan organisasi kader yang mengedepankan kualitas kader dalam keilmuan bukan kuantitas kader untuk menggiring massa.

Selanjutnya dari tujuan HMI bukan hanya membentuk pribadi kader berkualitas saja, namun fungsi lebih lanjut dari "insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam" adalah bartanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. 

Dimana sinonim dari "masyarakat adil makmur" ialah "masyarkat yang berdasarkan pancasila" secara tersirat dari kelanjutan fungsi insan-cita tersebut gerakan dan pejuangannya dilakukan di bumi Negara Republik Indonesia (A. Dahlan Ranuwiharjo, hlm. 22). 

Hal ini merupakan konfrom dari Mukadimah Angaran Dasar HMI yang bertekad meberikan bakti dharmanya untuk menwujudkan nilai-nilai Keislaman dan pancasila (sebagai bangsa Indonesia) sebagai bentuk mengisi dan memaknai kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Mukaddimah AD HMI dalam Kongres XXIX, hlm. 69).

Organisasi yang memposisikan diri sebagai organisasi kader ini telah membuatku lebih bersemangat untuk belajar dan berjuang. Apalagi dalam latihan kader I dan setelah latihan kader I tersebut banyak tambahan pengetahuan yang tidak aku ketahui sebelumnya. Motivasi dari senior dimana-mana dengan mengangungkan para alumni HMI yang luar biasa, sebut saja Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Jhohan Effendy, dan yang lain-lain.

Sehingga statemen "HMI Menjawab Tantangan Zaman" berkibar dalam alam bawah sadar para kader. Mengapa tidak? Kader HMI memang dipersiapkan untuk bisa berdialog secara aktif dengan lingkungan serta secara positif dan kreatif melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam sikap dan pola pikir yang baru untuk kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat baik sebagai individu (kader HMI) maupun secara kompleks sebagai warga negara Indonesia.

Dengan demikian menampilkan sikap dan pola pikir kader HMI, yang sejak dini telah mengemban nilai-nilai keislaman harus mengejewantahkan nilai-nilai Islam tersebut secara tepat dan relevan, sehingga posisi dan peran kader HMI dari waktu ke waktu senantiasa berada dalam kebulatan eksistensi yang teruji aktualisasinya (M. Saleh Khalid, hlm. 36). 

Tentunya pengejawantahan sikap integratif dengan memposisikan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa, serta penegasan orientasi kualitatifnya bertitik tolak pada analisis tujuan HMI dikaitkan dengan kecenderungan-kecenderungan dalam kehidupan bangsa.

Dasar berpikir yang demikian akhirnya tiba kepada beberapa kebijaksanaan. Kabijasanaan-kebijaksanaan tersebut adalah: Bahwa hakikat tujuan HMI identik dengan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. 

Dalam hal ini, hakikat insan-cita HMI sebagai sasaran pencapaian Tujuan HMI merupakan Kader Bangsa sekaligus kader Pembangunan dalam arti yang sebenarnya.

HMI dan segala sasaran pencapainya merupakan organisasi kader, yang para kadernya (seharusnya) sebagaimana yang diceritakan oleh paman dulu. Bisa menampilkan kualitas keakademisannya, berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, kritis, dll.

Pencipta, mampu melihat peluang lebih dari sekedar yang telah ada dan menciptakan hal-hal baru yang lebih baik dengan tetap mengacu terhadap yang telah ada. Dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan. 

Atas dasar kemampuan akademis mampu menjadi insan yang independent, tidak isolatif, terbuka, serta mampu melaksanakan tugas kemanusiaan (amal saleh) yang disemangati ajaran Islam.

Pengabdi, ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan umat dan bangsa, dalam arti bukan hanya sanggup berkarya (berbuat baik) untuk kepentingan diri sendiri melainkan juga memperhatikan lingkungan sekitarnya untuk menjadi lebih baik.

Islam menjadi nafas dan ruh dalam berkarya dengan nilai-nilai universal Islam sebagai jalan menempuh tujuannya. sehingga rasa tanggung jawab, taqwa kepada Allah, selalu menjadi penggerak atau dalam bahasanya Cak Nur sebagai tonjokan untuk mengabil peran aktif dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT (Tafsir Tujuan HMI dalam Kongres XXIX, hlm. 121).

Imajinasi khayali saat diceritai paman dulu benar-benar tidak aku dapati dalam realita. Semuanya memang nyata adanya dan merupakan sebuah bentuk gerakan perjuangan demi kemaslahatan bangsa dan umat Islam di Indonesai. 

Dengan membina pribadi mahasiswa sebagai calon sarjana dan cendekiawan, yang berkarakter kebangsaan dan bernafaskan Islam dalam setiap tindakannya, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Munculnya Dinamika Wacana dan Hororisme

Sebelum melanjutkan pembahasan yang ngawur tapi berisi ini, mari kita seruput dulu kopinya biar tidak terlalu tendensius membacanya! Hehe...

Mungkin pembaca bertanya atau mau berkomentar, kok judulnya Dinamika Wacana dan Hororisme apa tidak ada judul dan atau redaksi lain yang lebih ilmiah, sedikit? Aku sengaja membuat judul seperti ini, sebab sudah tidak ada gunanya lagi menggunakan bahasa lembut untuk menggelitik hati yang mati lantaran tertimbun kelaparannya sendiri.

Bagaimana mungkin tak akan dikatan Dinamika Wacana dan Hororisme, jika HMI yang dikatan sebagai organisasi kader seperti yang dijelaskan diatas, sudah tidak lagi menjadi ruh dalam diri kader HMI. Misalnya ketua-ketua umum mereka sulit ditemui di kantor masing-masing lantaran sering berada di rumah dan di tempat kerja.

Pemikiran pembaharuan, membina, dan mencipta hanya menjadi retorika mimbar yang berapi-api. Melihat actiondari setiap konsep yang ditawarkan nyaris sudah tidak ditemukan tumbuh subur diatas bumi kecuali dalam alam semu. 

Agussalim Sitompul menyatakan yang demikian adalah kurang berfungsinya aparat HMI seperti Pengurus Cabang, sehingga kontrol untuk pelaksanaan program kerja organisasi tak terkontrol dengan baik, akhirnya hanya menjadi retorika mimbar belaka.

Mirisnya, di tingkat komisariat, yang merupakan unjung tombak pengkaderan tak lagi bergerak sesuai tupoksinya, sebagai rekrutment anggota, pembinaan anggota, serta sebagai syarat kelanjutan kehidupan organisasi, yang mengambil basis diperguruan tinggi. Parahnya, banyak kader HMI di Komisariat yang ikut terjun dalam gerakan organtaktis-pragmatis.

Padahal yang demikian merupakan suatu bentuk usaha pemudaran tradisi intelektual HMI. HMI yang merupakan organisasi kader tak lagi mempunyai taring dibidang keilmuan dan juga tak mempunyai daya jual terhadap mahasiswa khususnya dan apalagi terhadap masyarakat pada umumnya.

HMI membina kadernya dengan jenjang pengkaderan mulai dari Basic Training (LK I), Intermediate Training(LK II),dan Advanced Training (LK III). Semuanya tak lagi menjadi forum pembinaan, pengembangan potensi, dan pelatihan kreatifitas kader agar potensi konsepsional dan potensi operasional bisa diimplementasikan dengan benar dan efektif untuk memperjuangkan serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Melainkan, telah menjadi tren dan formalitas pengkaderan untuk memenuhi iming-iming dari senior. 

Dalam hal ini aku akan menujukkan bukti dari cerita diriku sendiri.

Pada malam itu ketika semua senior dan kawan-kawan yang lain menikmati kopi, nyeletuk salah satu senior memanggil namaku kemudian bilang "Dek! Besok kamu maksimalkan ikut LK II (Intermediate Training), karena sebentar lagi akan dialaksana muslem. Dan kamu nyalon sebagai ketua!" katanya.

Kemuadian aku menaggapi dengan senyum kecil dan menjawab "Maaf kak, aku tidak bisa mengingkari apa yang bergerak di dalamnya kulit, yang bergerak dibalik daging, yang bergerak di balik organ dalam di dalam tubuhku, dan sampai organ yang paling kecil, paling terdalam dalam tubuhku." Timpalku.

Artinya, jenjang pengkaderan yang seharusnya mempunyai nilai perjuangan dan pembinaan kader, menjadi rusak dan tak bermakna jika dilakukan atas dasar iming-iming tak jelas apalgi jabatan. Hal ini yang dimaksud Agussalim Sitompul dalam 44 Indikator Kemunduran HMI bahwa HMI dan kader-kader penerus kurang mampu mengikuti jejak para pendahulunya yang memiliki pandangan visioner, sebagaimana dilakukan pemrakarsa pendiri HMI Lafran Pane dan para penerusnya.

Apalagi menurut beberapa informasi yang beredar, perekrutan kader untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi sangat kental dengan permainan politik. Jika yang mendaftar mempunyai skill melobi dan kedekatan emosional dengan pihak penyelenggara, maka pastilah dia akan menjadi peserta pelatihan. 

Hal seperti ini mengingatkanku kepada pernyataan mbah Pramoedya "Kalau sekolah tinggi hanya menghasilkan bangsat-bangsat saja, ya, akan runtuhlah manusia ini", jika aku sedikit rubah redaksinya "Kalau mengikuti jenjang pengkaderan yang lebih tinggi di HMI hanya mengahasilkan bangsat-bangsat saja, ya, runtuhlah HMI ini".

HMI Pamekasan saat ini tidak dapat memelihara dan mempertahankan serta meningkatkan keberhasilan yang pernah dicapai, sehingga apa yang pernah dicapai tersebut tidak dapat dikonsolidasikan sebagai modal perjuangan selanjutnya, bahkan hilang dan pupus dalam perjalanan sejarah. 

Mirisnya, fungsionaris tertinggi HMI Pamekasan malah memberikan contoh untuk tidak menegakkan konstitusi HMI itu sendiri. Kader seperti ini Agussalim Sitompul menyebutnya "kader yang tidak punya disiplin organisasi yang tinggi."

Akibatnya kader militan dibawahnya terkonstruk cara berpikirnya untuk selalu skeptis terhadap apa yang disampaikan atasannya, bahkan ada yang paranoid atas keberadaannya menjadi kader HMI. Meskipun semuanya hanya sebatas retorika mimbar yang hilang ditelan angin.

Selanjutnya sebagai bahan renungan yang bersifat solusi, aku rasa sangat perlu untuk membentuk pemimpin yang tidak hanya karismatik, melainkan membina dan atau membentuk pemimpin yang berkriteria sebagai berikut:

Pertama, mempuyai karakter (character) atau dalam bahasa Indonesia sering dikenal dengan budi luhur, dalam Islam disebut bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, mempunyai keteguhan hati. Maksudnya jika dia berdoa “Ya Tuhan berilah saya petunjuk dan kemampuan untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah”.

Ketiga, mempunyai kejujuran. Dalam artian jujur bukan dalam hal materi, melainkan sebuah ketulusan hati dan komitmen diri untuk menyatakan yang sebenarnya. Jika dia setuju maka bilang setuju, bila “iya” maka bilang “iya”, bila “tidak” mengatakan “tidak”, dan bila dalam keadaan ragu dia mengekspresikan diri dengan “diam”.

 Keempat, mempunyai kemampuan (capability). Dan yang terakhir adalah mempunyai kecakapan. Susunan kriteria pemimpin ini adalah susunan yang benar, memang banyak yang dua terakhir ini seringkali sama kebanyakan orang ditaruh dalam tingkatan utama. Tapi disini tidak, sebab kemampuan dan kecakapan tanpa ada kontrol dari tiga kriteria sebelumnya akan membuat atau menjadikan pemimpin urakan dan arogan.

Semoga tulisan gnawur tapi berisi ini masih tetap memberikan kenikmatan terhadap kita dalam menyeruput kopi. Selamat menikmati!!!

*Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cab. Pamekasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun