Mohon tunggu...
Imaz Mustika
Imaz Mustika Mohon Tunggu... Guru - Menulislah, agar tidak lupa dan tidak dilupakan.

A simple mother with a great dream.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Gedung Tua

11 September 2018   12:22 Diperbarui: 11 September 2018   12:30 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan mengguyur kampungku sejak semalam. Suasana kampung yang biasa ramai, apalagi di pagi hari, kini mendadak sepi. Tak terlihat aktifitas seperti biasanya. Tak terdengar sapu lidi yang beradu dengan tanah berdebu. Tak terdengar derungan suara motor yang sedang dipanaskan oleh sang empunya. Bahkan pedagang nasi uduk kelilingpun tak terdengar teriakannya tadi pagi. Udara begitu dingin hingga siang menjelang. Beberapa kali aku melongokan kepala lewat jendela kamar, untuk mengamati keadaan di luar. Aku berniat pergi ke rumah teman hari ini, mengantarkan kudapan pesanannya. 

Angin berhembus kencang, belum sempat kututup jendela itu, tiba -- tiba terdengar suara dwwwakkkk..., daun jendela tertutup sendiri saking kuatnya hempasan angin. Sementara di luar pohon dan ranting serta dedaunan meliuk -- liuk. Awan semakin menghitam menambah suasana kelam. Seakan tak ada kehidupan.  Persis seperti kota mati dalam film house of wax atau mungkin juga seperti kota hantu di Sesena. Hihh..., benar -- benar menyeramkan.

"Ojek bu ?" tanya seseorang dari balik jas hujan berwarna hitam panjang. Jas itu lebih pas disebut jubah, menurutku. "Eee..e.ii..iyaa ..iyaa." Aku terlonjak kaget. Suara serak tukang ojek itu benar -- benar mengagetkan dan membuatku takut, sebagian wajahnya tertutupi oleh jas hujan. Aku hanya sekilas melihat tatapan matanya yang kosong.

 Segera kutepis rasa takut yang menyelimuti. Aku harus buru -- buru pergi, sebelum hujan bertambah besar. Tadi hampir satu jam, melongo sendirian ditemani gemericik air yang seakan tak ingin segera berhenti. Dengan segera ku hampiri tukang ojek itu, "Ayo mang antarkan saya ke perumahan De'Angel," pintaku . Tukang ojek itu tidak berkata apa -- apa, ia hanya mengangguk. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Lagi -- lagi aku bergidik. "Ya Alloh, lindungi dan selamatkanlah hambamu ini, dari segala marabahaya. Amiin." Ojek yang kutumpangi melaju perlahan.

Cuaca semakin gelap, kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, jarum jam menunjukan pukul empat kurang sepuluh menit. Kurang lebih satu meter lagi aku akan segera sampai ke perumahan yang dimaksud. Setelah melewati pohon kelapa yang berderet sepanjang jalan, lalu setelahnya pabrik es yang sudah lama tak beroperasi dan persis di sebelah kanannya terdapat sebuah bangunan tua yang berdiri kokoh. Banyak orang bilang sering ada kejadian -- kejadian aneh di sekitar tempat itu.

 Contohnya ada anak hilang setelah bermain layangan di belakang gedung, atau cerita para pengemudi motor yang sering mendadak mogok, jika tidak membunyikan klakson ketika melewati tempat itu. Tapi aku tak percaya begitu saja, karena memang belum pernah mengalami kejadian apapun. Aku berpikir, itu hanya bualan yang ditambah bumbu sana -- sini dan akhirnya jadi sebuah cerita yang dipakai untuk menakut -- nakuti orang saja. Dan aku tak pernah takut.

Aku membetulkan letak jas hujan yang menjuntai ke bawah, takutnya terkena jari -- jari motor. Sementara itu ojek kian melambat, lalu berhenti tiba -- tiba persis di depan pabrik es. "Kenapa mang ?" tanyaku penasaran. " businya terendam." Suaranya yang berat menjawab singkat. "Walah mang gimana ini, mana hujan tambah gede nih." Rasa takut mulai menyergap, mungkin karena hujan yang terus mengguyur, jadi suasananya sangat mencekam. Mataku mengitari keadaan sekitar. 

"Maaf..." Suara serak tukang ojek itu lagi -- lagi mengagetkanku. Ia menuntun motor dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Berdiri dalam kebingungan.  Baru teringat ongkos ojeknya belum dibayar. "Maang ... maang ..., ini ongkosnya ... ," teriakku. Percuma saja, bahkan ia tak mempedulikan panggilanku.

Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan terseok berusaha menghindari jalanan yang berlubang. Kutengok lagi ke belakang tidak ada tanda -- tanda tukang ojek itu kembali lagi ketempat ini. Aku mempercepat jalanku. Sekilas kulirik pabrik es yang menyatu dengan gedung usang itu. Keduanya berdiri kokoh. Aku bergidik, karena saat -- saat begini, teringat semua cerita yang menakutkan. Gedung tua itu kelihatan angkuh, hitam legam, laksana raksasa yang tengah memperhatikan langkahku. 

Aku tak bisa berkonsentrasi, dan akibatnya, "Aduhh aauwww.. ," pekikku. Kakiku menginjak lubang jalan yang nyaris tak kelihatan. Bruukkk...aku terjatuh karena tak dapat menjaga keseimbangan.

 Ketika berusaha bangkit, sekelebat, kulihat seorang perempuan memasuki gedung tua. Saat aku menoleh, tak kulihat apapun, selain pohon pisang yang berbaris di sekitar bangunan. Daunnya seakan melambai -- lambai ke arahku. Dalam hati bertanya -- tanya siapa wanita yang sekilas aku lihat tadi? Mengapa dia memasuki gedung tua itu? Apakah dia pemilik pabrik itu?  Ah rasanya tidak mungkin, karena setahuku pabrik itu sudah lama sekali tidak digunakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun