Mohon tunggu...
Imaz Mustika
Imaz Mustika Mohon Tunggu... Guru - Menulislah, agar tidak lupa dan tidak dilupakan.

A simple mother with a great dream.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

The Story of My Life

2 Maret 2018   14:27 Diperbarui: 2 Maret 2018   15:31 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dapat menyelesaikan kuliah itu rasanya seperti keluar dari sebuah lingkaran yang mengikatku teramat kuat. Rutinitas yang membosankan. Berangkat kuliah, menyimak materi, lalu pulang ke kostan membuatku jenuh. Awal - awal kuliah itu ingin rasanya berhenti saja. Dan itu akan benar-benar terjadi jika saja aku tak ingat bapak. Bapak ingin sekali aku bersekolah tinggi dan menjadi sarjana. Padahal aku sama sekali tak ada semangat, apalagi melihat berbagai gaya busana para mahasiswi yang keren menewen. Life style mereka yang tak bisa kuikuti. Karena aku hanyalah seorang gadis kampung. Ibu bapakku seorang guru SD. Mana mampu mereka membelikanku baju - baju bagus. Biaya adik - adikku sekolah, belum lagi saudara yang menumpang dirumah membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Semester 6, aku mengenal seorang mahasiswa. Dia adalah teman sekelasku. Dia lebih tua 3 tahun dariku. Aku merajut kasih bersamanya. Lumayanlah kuliahku menjadi lebih bersemangat. Sampai akhirnya, alhamdulillah kuliah kami selesai. Dan kami memutuskan menikah. Belum punya pekerjaan. Tidak punya planning apapun. Kami hanya punya keyakinan bahwa kami memiliki ilmu yang didapat dari bangku kuliah. Dan itulah modal kami.

Setelah menikah, walau sedikit bingung karena tak punya penghasilan, tapi kami tetap berusaha kesana kemari. Buka les, menjadi honorer dengan gaji kecilpun aku lakukan. Bantuan demi bantuan yang diberikan orangtuaku membuat aku merasa malu. Disekolahkan tinggi, eh masih minta makan juga. Hingga pada suatu hari kami memutuskan untuk mengikuti saudara ke luar kota.

Di kota yang baru kami merintis kehidupan dari nol. Mengontrak sebuah kamar. Kami hanya membawa tas berisi pakaian. Tempat tidur dan yang lainnya telah disediakan pemilik kontrakan. Kami menyicil membeli alat - alat makan dan memasak. Di kamar kontrakan yang sempit itulah, aku mulai membangun rumah tangga tanpa menyusahkan orangtua. Namun tak berapa lama, saat aku mengandung anak pertama. 

Sebulan mau lahiran, bapakku datang menjemput. Ia tak tega melihatku melahirkan dan mengurus bayi di kamar sempit. Aku pulang ke rumah. Lagi - lagi, orangtuaku yang membantu segala keperluan lahiran. Setelah usia anakku 6 bulan, aku kembali mengadu nasib. Bukannya aku tidak mau tinggal bersama orang tua, tapi rasa malu yang selalu menghampiri. Tinggal di rumah orang tua, rasanya seperti menjadi orang yang tidak berguna.

Beberapa kali kami pindah kontrakan. Yang terakhir, kami mengontrak rumah. Karena kami pikir, kamar terlalu sempit untuk ditempati bertiga. Rumah yang baru kami kontrak dengan harga murah itu, merupakan rumah tua. Kalau hujan, kami harus menyiapkan beberapa ember untuk menampung air yang dengan leluasa jatuh dari atap yang bolong disana sini. Segala keprihatinan, kami jalani tanpa putus asa. Hidup prihatin bagi kami, merupakan bagian dari sebuah perjuangan. Kami harus berjuang bersama - sama untuk membesarkan si kecil.

Sampai pada suatu hari, keberuntungan itu datang juga. Tepat usia anak kami, 4 tahun, suamiku diangkat menjadi pegawai tetap, ya ... dengan menjadi pegawai tetap, kami memiliki harapan baru. Kehidupan yang lebih baik dan kami memiliki rumah yang lumayan nyaman. Ditahun berikutnya tak lama saat kelahiran anak keduaku, alhamdulillah giliranku tiba. Keberuntungan menghampiriku aku diangkat menjadi pegawai tetap juga. Dan setelah itu kebahagiaan lainnya terus menerus datang pada keluarga kami. Termasuk dengan memiliki anak ketiga yang belum genap 3 tahun, yang sedang lucu - lucunya, adalah kebahagiaan yang tak bisa lagi kuungkapkan selain ucapan syukur kepada Sang Maha pemberi. Alhamdulillahirobbilaalamiin. Terimakasih ya Alloh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun