Mohon tunggu...
Politik

Hukum Tak Adil bagi Kepala Desa, Cerminan Tabiat Buruk Penguasa

27 Februari 2019   22:56 Diperbarui: 27 Februari 2019   23:27 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepala Desa Sampangagung, Mojokerto, Suhartono, kini bisa menghirup udara bebas lagi. Hukuman dua bulan dibui telah ia jalani karena mendukung Prabowo-Sandi. Padahal ia tidak sendiri. Banyak kades lain yang berbuat serupa, hanya saja mereka mendukung petahana, nasib mereka aman-aman saja. Sementara, Suhartono, lantaran ia berada di barisan oposisi, maka tindakannya mesti diganjar hukuman hidup terkurung jeruji.

Begitulah jika berani menempuh jalan politik berbeda dengan penguasa, hukuman penjara selalu siap menanti di depan mata. Ini tak bisa dipungkiri. Di rezim Jokowi, hukum memang tajam sebelah. Karena hukum sudah menjadi alat kekuasaan yang hanya dipakai sebagai senjata untuk menebas leher lawan-lawan politik penguasa.

Kejadian di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, menjadi contoh nyata. Sebanyak 15 kades di daerah ini menyatakan dukungan kepada kandidat petahana, Jokowi-Ma'ruf. Mereka yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdeksi) Batu Bara, bahkan membuat surat dukungan yang dibubuhi tanda tangan dan stempel masing-masing pemerintah desa.

"Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan sikap dengan sebenar-benarnya, bahwa kami bersedia serta siap mensukseskan sekaligus memenangkan pasangan nomor urut 01 pasangan Joko Widodo-Maruf Amin pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 17 April 2019," begitu yang tertulis dalam surat itu.

Tapi, sudah bisa ditebak, tak satupun dari mereka yang berurusan dengan hukum. Mereka tidak dianggap melanggar Pasal 490 juncto Pasal 282 UU RI No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, karena tindakan itu dinilai tidak menguntungkan salah satu peserta Pilpres 2019. Jadi, tak seorangpun yang harus mendekam selama dua bulan di penjara, seperti yang dialami oleh Suhartono.

Kejadian serupa pernah terjadi pada September tahun lalu. Saat itu, sebanyak 47 wali nagari (desa) di Dharmasraya, Sumatera Barat, menggelar deklarasi mendukung Jokowi-Ma'ruf. Pihak oposisi sudah melaporkannya dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) awalnya sudah bekerja dengan memanggil mereka. Hanya saja, hingga sekarang, tak jelas kelanjutan kasusnya.

Padahal dalam Pasal 282 UU Pemilu menyatakan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan peserta pemilu dalam masa kampanye.

Begitulah jika hukum sudah berpihak kepada kepentingan politik rezim. Pelanggaran hukum yang diperbuat kaki tangan kekuasaan, akan selalu didiamkan. Kalaupun diusut pelaku sulit ditemukan, jika tersangka ada kasusnya dihentikan. Begitu yang terjadi berulang kali. Sudah layak jika mereka dilabeli kelompok kebal hukum. Mereka bisa berbuat seenaknya, karena aturan tidak berlaku bagi mereka.

Jika Jokowi tidak kunjung memperbaiki kondisi ini, bersikap adil terhadap oposisi, serta membersihkan aparat penegak hukum yang berhati busuk, maka kredibilitas 'petugas partai' ini dalam bahaya. Sebab ancaman terbesar terhadap pemerintahan ini bukanlah kudeta, melainkan pada kemerosotan public trust, akibat tabiat buruk penguasa dan penegak hukumnya. Sebab, kejahatan di negeri ini tidak lagi berbentuk pelanggaran hukum, tapi sudah menjadi kejahatan hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun