Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia Datang Bersama Si Miskin

30 Juni 2016   00:09 Diperbarui: 30 Juni 2016   16:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bangku Taman I Dok.Pribadi

Taman ini tidak begitu indah. Taman yang cenderung kusam. Rumputnya banyak yang mengering, berlomba dengan pohon-pohon yang menggugurkan daunnya. Tong sampah yang menyebar tidak merata telah berkarat di bibir dan pantatnya. Sampahnya meluber berjatuhan di ujung rumput liar yang kurus. Bahkan di bawah pohon beringin tua itu menyeruah bau pesing.

Meskipun begitu, orang-orang yang datang ke taman ini tak pernah sepi menjelang matahari angslup di ujung menara masjid. Mereka membawa anak-anak, atau pasangan kencan bagi para remaja. Mereka tertawa, entah apa yang ditertawakan. Mereka bercerita pada pasangannya, entah apa yang diceritakan. Mereka duduk-duduk di bangku beton yang dipasang di banyak titik, sambil menguliti kacang rebus, atau mengerat jagung bakar. Mereka tampak bahagia duduk-duduk di bangku taman.

Lain halnya dengan laki-laki yang duduk di bangku di sudut taman itu. Ia kelihatan memiliki tujuan lain datang ke taman. Kalau yang datang ke taman ini biasanya untuk membuang waktu, datang sesaat kemudian pergi lagi, laki-laki ini, sampai malam ini, masih bertahan di bangku di sudut taman itu. Ia sudah beberapa hari tidak beranjak. Duduk saja disitu.

Kalau dicermati tingkahnya, laki-laki seperti sedang menunggu seseorang. Saat orang ramai lalu lalang gesturnya menengok kesana kemari. Akhir dari pandangan matanya yang mencari itu, ia senantiasa melakukan hempasan nafas yang dalam. Ia sempat menghentikan seseorang yang lewat di depannya. Ia rupanya sedang menanyakan sesuatu. Tetapi, orang itu hanya menoleh dan cepat-cepat meninggalkan laki-laki di sudut taman itu. Mungkin orang itu menganggap laki-laki itu orang kurang waras.

Meski begitu, ia akan melakukan lagi tebaran pandangannya ke sekeliling tempatnya duduk di waktu-waktu kemudian. Suatu saat, ia sampai naik ke bangku untuk mengantarkan pandangan matanya di kejauhan. Hasilnya nihil. Raut wajahnya menampakkan kekecewaanya. Tapi tekadnya sudah bulat, ia tetap bertahan di bangku sudut taman.

***

Pada hari ketujuh, tekadnya sudah kelihatan goyah. Seharian kelihatan tidak banyak yang dikerjakan selain duduk saja sambil kepalanya tertunduk. Dan, malam ini, ia duduk bersandar di batang pohon yang tumbuh bersebelahan dengan bangku. Sorot matanya sudah mulai tidak terarah. Tubuhnya mulai terlipat seperti udang. Nafasnya berputar lemah. Tak lagi memesan kopi pada songan keliling. Ia kelihatan putus asa.

Ia mulai mengantuk ketika lampu taman satu per satu dipadamkan. Matanya memberat. Lehernya tak kuat menahan kepalanya yang berambut acak-acakan. Mulutnya berkali-kali menguap. Dengus nafasnya dapat terdengar cukup jauh, karena taman sudah sunyi. Langit biru pekat memayunginya. Bulan menerobos sela-sela dedaunan cahanya menimpa rerumputan yang mulai basah oleh embun. Kelelawar sesekali terbang pindah ke lain pohon setelah merontokkan biji-biji beringin.

Tepat ketika ia hampir mendengkur, seorang laki-laki tua bongkok dan bertongkat berjalan menghampirinya. Ia menepuk pundak laki-laki mengantuk itu.

“Siapa yang kamu tunggu?” Tanya laki-laki tua.

Laki-laki mengantuk menjawab sepontan, “Tuhan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun