Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duka Hitam di Wajah Sang Penari

12 April 2016   00:36 Diperbarui: 12 April 2016   00:45 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sabar, Nduk.” Kata Mbah Panji memompa semangat.

Sri minta ajari juga kepada Wak Aji yang ahli menari Patih. Dia mencoba ragam gerakan tari yang dikuasai Wak Aji. Semula gerakan kaki; gejug2) yang macam-macam polanya itu. Belajar menggerakkan kepala untuk menghidupkan karakter topeng membuat perasaan Sri membumbung. Sebuah kejutan dipamerkan kepada Mbah Panji. Namun, apa pendapat Mbah Panji tentang gerak tarinya?

“Jauh! Kaku!” kata Mbah Panji sambil meniup ruang kosong.

Kecewa Mbah Panji seperti tamparan angin lisus. Ia meremang. Usahanya agar tidak terisak gagal. Segagal ia belajar gerakan-gerakan tari. Belajar dengan tidak menghiraukan peringatan waktu yang terus menggelinding. Pagi. Siang. Sore. Malam. Pagi lagi… Tiada detik berlalu tanpa menari. Sesenggukannya mengguncang seluruh organ tubuhnya. Kepalanya lunglai menekuri tanah yang basah oleh air mata.

“Berat memang. Tetapi tidak boleh cengeng. Tidak boleh manja.” Mbah Panji menutup malam itu.

Malam tanpa purnama menyergapnya dalam kebimbangan.

***

Pada usianya ke 15, pada malam wetonnya3), Sri dibangunkan Mbah Panji. Dia harus menjalamkan laku untuk calon seorang penari. Dia diarak ke sumber yang diyakini sebagai danyangan. Malam pekat. Mereka semua yang hadir membisu. Suara gemeretak ranting patah terinjak kaki terdengar nyaring. Suara belalang mengerik mengalun bersama gemericik air sumber. Obor dari bambu ditancapkan Wak AJi di tanah basah, sumbunya di sulut, menyala menerangi daun-daun menjadi warna coklat kemerahan. Sementara Mbah Panji menuangkan bunga tujuh rupa dalam air sumber, membakar kemenyan sampai asapnya menusuk paru-paru. Sri, seperti hewan persembahan, menurut saja perintah Mbah Panji.

Malam itu Sri harus telanjang, dan cepat-cepat masuk ke dalam air sumber. Brrrr! Dingin menusuk tulang. Mbah Panji mengguyurkan air sumber di ubun-ubunnya sambil bibirnya bergetar-getar mendesiskan rapal.

Selesai ritual ini kepalanya berdentum disekap air 10 derajad. Namun, dia tidak segera dapat mentas dari dalam air sumber. Matanya menangkap pandangan Mario, seorang mahasiswa semester satu yang datang dari kota untuk meneliti kesenian wayang topeng. Kedua matanya yang bulat menusuknya yang sedang telanjang.

Sri tidak kuat menahan beku. Matanya memberat. Ingatannya melayang. Tubuhnya lunglai tenggelam dalam air. Sri membuka mata lagi sesudah berada di bawah atap rumah Mbah Panji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun