Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duka Hitam di Wajah Sang Penari

12 April 2016   00:36 Diperbarui: 12 April 2016   00:45 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penari Kuda Lumping Kecil"][/caption]

Cerpen: Iman Suwongso

Usia Sri baru sepuluh tahun saat Bapak disambar petir di tengah sawah. Tubuhnya gosong. Nyawanya tak tertolong. Sejak itu Emak yang harus menanggung hidup kami; Emak, dia, dan aku --kakaknya. Emak tak bisa menggantikan pekerjaan Bapak bergulat lumpur dan tletong1) sapi. Ia memutuskan pergi ke kota menjadi babu. Aku dipungut seorang pedagang kain keliling. Dan dia dilemparkan ke dusun kecil, ke rumah Kakek. Kami berpisah lama sekali.

Saat itu usia Kakek telah 70 tahun. Nama panggilannya Mbah Panji. Sedang nama KTP-nya Rebo –pasti karena lahir pada hari Rabu. Ia dipanggil Mbah Panji tentu ada sebabnya. Ia seorang penari wayang topeng yang setiap pagelaran membawakan cerita-cerita panji. Namun ada yang mengatakan Mbah Paji adalah orang satu-satunya yang dapat menarikan tokoh Raden Panji Gunung Sari di daerah ini. Dia telah mendapat pulung Raden Panji Gunung Sari sehingga ketika dia menari semangatnya telah menyatu dengan watak erotis kesatria dari Kediri itu.

Belum lama Sri tinggal bersama Mbah Panji, dia menonton kulit keriput itu bertopeng di atas panggung dengan kostum yang gagah dan warna warni. Sri terpesona pada pandangan pertama saat purnama menyentuh ujung-ujung daun mahoni. Kepiawaian Mbah Panji melengketkannya dengan pentas keliling dari desa ke desa. Ia senantiasa memperhatikan Mbah Panji sepanjang pentas keliling itu. Sri menjadi tahu kalau Mbah Panji bukan hanya seorang penari. Ia menjadi ketua rombongan. Sesepuh yang mengayomi anak buahnya. Ia tidak akan makan sebelum penari-penari lain selesai mengisi perutnya. Tak akan berpangku tangan sementara tukang gendang menembel kulit gendang yang jebol. Pendeknya, Mbah Panji pemimpin sejati. Seorang maestro.

Kekaguman itu memaksanya untuk mengais riwayat Mbah Panji. Ternyata, Mbah Buyut, orang tua Mbah Panji juga seorang penari topeng. Meskipun buyut memerankan tokoh lain bernama Potrojoyo. Sosok yang lucu, satu-satunya topeng yang bisa bicara dalam pertunjukan. Dia bisa dialog dengan dalang juga menyapa penonton. Tapi Mbah Buyut juga bisa menari topeng yang lain. “Mbah Panji bisa menari Gunung Sari diajari Mbah Buyut.” cerita Mbah Panji. Mbah Buyut telah menurunkan kecintaannya kepada Kakek.

Nafas Mbah Panji sesungguhnya sudah tidak panjang lagi. Sri kerap kali melihatnya tersengal-sengal di sudut ruang ganti ketika dia usai menari. Sang Waktu tak akan pernah memberikan ijin padanya untuk menari sepanjang masa. Ada saatnya berhenti. Suatu malam, Mbah Panji cemas, karena sampai saat itu belum ada yang bisa meneruskan kiprahnya. Anaknya semata wayang, yang menjadi Bapak kami itu, telah pergi mendahului kami. Sri merasa Mbah Panji sedang menunjuknya untuk meneruskan lakonnya sebagai pemangku wayang topeng.

Sri terima tantangan itu seperti iming-iming es cendol di tengah terik matahri. Namun, jidat Mbah Panji malah mengkerut mendengar niatnya. Ia menarik nafas kuat-kuat. Akhirnya Mbah Panji mengatakan, “Tak biasa ada perempuan menjadi penari wayang topeng.” Sri ngotot. Dia bilang kalau dirinya bukan perempuan biasa. “Aku pasti bisa!” semangatnya.

 “Kalau kemauanmu begitu, aku akan mengupayakan. Tapi resikonya berat.” Janjinya dengan suara datar dan nyaris tak terdengar. Pandangan Mbah Panji jauh menembus dinding.

Mulai saat itu waktu dilibas dari dalam pikirannya. Dia tak kenal lagi pada jarum berdetak. Tak satu tanggapan wayang topeng pun tanpa kehadirannya. Meskipun Sri hanya bengong di samping panggung. Kerap kali Sri tersungkur dengan liur berlelehan. Setiap kali dia terbangun, karena pertunjukan usai, dia berjanji untuk tidak mengulangi lagi, tidak tertidur lagi.

Saatnya tiba. Sebuah topeng dicengkeramkan di wajahnya. Dia merasa menjadi sosok yang aneh. Topeng itu rasanya kebesaran, hendak melompat jatuh sepanjang Sri berusaha mengikuti suara gendang dari mulut Mbah Panji. Sesudah menari dia menjadi mengerti, mengapa Mbah Panji mengatakan bahwa menemukan topeng yang cocok dengan dirinya tidak sembarangan. Dan memang begitu, Sri sudah mencoba satu demi satu wajah kayu itu. Tidak ada yang cocok. Semua menolaknya. Sri menjadi gemas pada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun