Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aba Gofar Meledakkan Halilintar di Ubun-ubun

8 April 2016   00:19 Diperbarui: 8 April 2016   00:54 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesimpulan itu tiba-tiba memunculkan sosok Kyai Dim dalam ingatanku. Aku yakin Kyai Dim bisa memotifasi Bandil agar bisa hidup lebih baik. Aku perkenalkan Bandil kepada Kyai.

Rupanya Bandil cocok dengan Kyai Dim. Ia kerap sowan padanya tanpa harus aku antar. Alhamdulillah. Bandil menjadi rajin solat. Suatu saat aku bersaksi, ketika dari membran masjid memekik suara adzan duhur. Bandil yang sedang gayeng berdebat dengan Ratmini dan beberapa teman yang ada di ruang itu, tiba-tiba menghentikan pembicaraannya. Dia bangkit dari duduk sila di lantai dan keluar. Mengambil air wudu. Solat tepat waktu. Subhanallah.

Namun sayang! Sayang sekali. Dia cepat berubah. Belum ada sebulan setelah solat tepat waktu di rumah Ratmini itu aku datang ke rumah kontrakannya –sekarang aku tahu alamat tinggalnya, kontrakan kecil di pinggiran kota. Ia tetap menekuni coretan-coretan di layar komputer saat jamaah masjid sudah berdzikir.

“Jam karetnya kumat ya?” Aku ingatkan dia.

Ia menjawab dengan dingin. “Aku tak percaya lagi!”

Astagfirullahaladzim. Serasa halilintar meledak di ubun-ubunku.

***

Bisa jadi karena aku kecewa padanya. Aku anggap dia tidak ada lagi di dunia ini. Sejak itu aku tak pernah melihat lagi rambut sarang kecoak itu. Sepuluh tahun lamanya. Hingga Si Misterius itu muncul di pelataran parkir masjid dengan keadaan yang sama sekali lain.

Aku kira, aku sekarang sedang sock. Aku perlu menilpun teman-teman Bandil, yang juga temanku. Titik terang aku peroleh dari Huda. Ia tahu secara kebetulan, dari sebuah cerita koran lokal yang tidak terkenal, tentang penggalan cerita Bandil. Penggalan cerita yang mengantar Bandil menjadi Aba A.Gofar.

Sembilan tahun lalu, kira-kira setahun setelah pertemuanku dengannya yang mengguncang itu, Bandil naik kereta kelas tiga menuju Jakarta. Di sebuah kota perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat waktu telah menggelincir dari tengah malam. Bandil seperti dilemparkan oleh tangan kekar dari dalam gerbong.

Paginya, ia ditemukan seorang tua renta dalam keadaan antara hidup dan mati. Si Tua Renta itu seorang penolong. Si Penolong itu membawa Bandil ke gubuk tak jauh dari rel kereta. Nyawa Bandil dapat diselamatkan. Selama melakukan penyembuhan Si Penolong itu membisikkan dzikir di telinga Bandil. Ketika Bandil betul-betul sembuh, bisikan dzikir itu telah mengendap di dalam dirinya. Setiap melangkah dia melafalkan dzikir itu. Sebelum meninggalkan gubuk, Si Penolong yang telah berjasa itu memanggil namanya dengan sebutan Gofar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun