Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aba Gofar Meledakkan Halilintar di Ubun-ubun

8 April 2016   00:19 Diperbarui: 8 April 2016   00:54 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesaat aku kecewa. Tapi dia telah minta maaf padaku sambil wajahnya ditekuk menunjukkan rasa bersalahnya. Aku memaafkannya, dan aku anggap sudah tidak ada apa-apa lagi. Aku anggap masalah rencana pameran selesai. Aku anggap dia teman yang baru aku kenal, dan mungkin hanya akan numpang lewat saja dalam pergaulanku.

Sesudah kedatangannya ke rumah, aku tidak pernah bertemu dia lagi. Lenyap! Begitu kira-kira yang bisa dikatakan. Setiap ke tempat Ratmini, aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku juga tidak pernah bertanya kepada Ratmini, apakah Bandil masih datang ke rumahnya. Tak terlintas lagi dalam pikiran.

***

Hampir lima bulan rambut kawul itu tak mengusikku. Sampai suatu petang ia tiba-tiba berdiri di belakangku saat aku menikmati kopi di warung kecil dekat stasiun. Rupanya dia tak menyangka akan bertemu aku disini. Tangannya agak gemetar. Ia mengajakku untuk duduk di pojok yang sepi. Ajakan yang menurutku agak didramatisir. Agar tidak menarik perhatian pengunjung lain, aku menuruti ajakannya.

Aku belum bertanya apa-apa. Pikiranku masih berkutat pada sikapnya yang aneh. Ia malah menjelaskan lebih dulu, kenapa aku selama ini tidak dapat berjumpa dengannya.

“Kemana saja?” tanyaku. Pertanyaan yang sesungguhnya muncul begitu saja. Aku sama sekali tidak butuh jawabannya. Namun, penjelasannya sungguh membuat aku menahan nafas.

“Selama ini aku tidak pergi kemana-mana. Aku hanya menghindarimu. Aku tahu kapan kamu di rumah Ratmini. Ini tadi aku kepergok kamu karena cahaya di warung ini remang-remang.” Katanya.

“Menhindariku?” Aku betul-betul tidak mengerti pikirannya.

“Karena pameran yang gagal itu. Aku merasa bersalah sama kamu. Aku tahu kamu sudah mengeluarkan uang muka untuk gedung itu. Barangkali kamu juga sudah memperoleh info, sebenarnya aku tidak punya banyak lukisan. Baru satu. Itu pun belum jadi. Maafkanlah aku…” Matanya menatapku berkaca-kaca, seperti kambing yang pasrah menghadapi jagal.

Aku geleng-geleng kepala, tapi aku tak tega. Aku menepuk pundaknya. “Sudahlah. Aku sudah melupakannya.” Ia memelukku.

Terus terang pertemuan di warung kopi dengan Bandil itu merupakan awal teror bagiku. Teror yang menggerakkanku untuk mengorek siapa sesungguhnya Bandil. Hasilnya tidak lain, Bandil adalah sosok gelap. Pekat. Kepercayaan hidupnya telah digerogoti semacam penyakit lepra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun