Dengan ramah dia menjawab sapaan kami, lalu berbincang dengan seorang kawan. Pembawaannya tenang, jauh dari kesan intimidatif yang sering dilekatkan pada sosoknya. Namun, bagi banyak orang di lingkungannya, dia lebih dari sekadar sosok ramah---dia adalah seorang yang sangat disegani, seorang yang memiliki peran dalam dinamika sosial di Kota Bandung.
Di usianya yang telah lebih dari setengah abad, Kang Endang, demikian almarhum biasa kami panggil, masih dipercaya sebagai "panglima" dari sebuah organisasi kemasyarakatan yang pernah berpengaruh di Kota Bandung.
Nama organisasi ini sendiri mulai meredup setelah pemimpinnya terseret kasus korupsi yang melibatkan seorang kepala daerah saat itu. Kejadian ini menandai akhir dari dominasi mereka di banyak sektor sosial dan ekonomi lokal.
Saat kami menemui Kang Endang di rumahnya, dia tengah bersarung dan mengenakan baju koko. Sosoknya memang dikenal pendiam dan ramah, tetapi bukan hanya karena kepribadiannya yang membuat banyak orang menghormatinya, melainkan juga karena sepak terjang dan pengaruhnya di dunia yang keras, sisi lain Kota Bandung.
Sebagai disertir tentara yang dipecat karena kekerasan sikapnya, Kang Endang telah lama malang melintang di dunia gelap, mulai dari aksi pribadi hingga pesanan khusus dari kalangan tertentu. Orang pada umumnya mungkin akan menyebutnya sebagai preman atau jeger, tapi bagi kami dia adalah seorang "kakak."
Preman, Siapa Mereka?
Istilah 'preman' memiliki sejarah panjang. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kata ini berasal dari bahasa Belanda vrijman, yang berarti "orang bebas"---seseorang yang tidak terikat kontrak kerja, terutama dalam konteks perkebunan kolonial.
Dalam perkembangannya, istilah ini berubah makna dan kini lebih sering dikaitkan dengan kelompok-kelompok yang berada di luar sistem hukum formal, atau mereka yang beroperasi dalam area abu-abu antara legal dan ilegal.
Premanisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Mereka kerap hadir di tengah ketimpangan sosial, ketika negara gagal memberikan perlindungan dan kesejahteraan yang merata.
Dari masa kolonial hingga reformasi, relasi antara preman dan kekuasaan selalu berjalan dalam pola yang hampir serupa: simbiosis mutualisme yang terus beradaptasi dengan dinamika politik dan ekonomi setiap zamannya.
Mereka tidak hanya beroperasi di ranah sosial dan ekonomi informal, tetapi juga kerap berkelindan dengan kepentingan bisnis besar, politik, dan bahkan menjadi bagian dari mekanisme pengamanan 'swasta' dalam proyek-proyek strategis yang melibatkan aktor negara maupun swasta.