Tapi memang aneh rasanya bagi saya ketika dulu saya melihat seorang rekan kerja yang selalu meminta perangko dari setiap surat yang datang dari luar negeri untuk diberikan kepadanya. Untuk apa perangko bekas itu dikumpulkan? Kayak gak ada pekerjaan aja. Tapi saya melihat seperti ada raut wajah kecewa dari rekan kerja saya itu ketika perangko yang diingininya itu telah disambar oleh rekan kerja yang lain. Sebaliknya, dia akan terlihat sangat senang ketika dia bisa mempertunjukkan album-album yang berisi koleksi perangkonya.
Aneh juga bagi saya ketika dari dulu bahkan sampai sekarang saya melihat adik saya mengumpulkan banyak sekali uang logam yang pernah berlaku di republik yang kita cintai bersama ini. Seingat saya, dia mempunyai koleksi uang logam dengan segala variasi bentuk cetakannya, mulai dari yang nilainya terendah sampai yang tertinggi seharga: lima rupiah, sepuluh rupiah, dua puluh lima rupiah, lima puluh rupiah, seratus rupiah, lima ratus rupiah dan seribu rupiah. Dia lebih baik tidak berbelanja kalau dia harus membayar dengan uang logam. Dia bilang suatu saat nanti uang logam ini akan sangat mahal harganya kalau sudah menjadi barang antik dan terbilang kuno. Tapi kapan? Sampai Lebaran kuda? Dia tersenyum mendengar ungkapan saya itu.
Dikutip dari lifestyle.bisnis.com, seorang psikolog bernama Anastasia Satriyo mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia itu bertumpang tindih antara fungsional, estetika dan emosi. Fenomena hobi koleksi pada dasarnya, kepemilikan atas benda-benda tersebut memberikan rasa nyaman bagi sang pemilik. Menjadi seorang kolektor sejati itu bukan karena perkara finansial, melainkan didorong atas dasar emosional.
Berangkat dari pernyataan Anastasia Satriyo tersebut di atas, maka sekarang saya mengerti dan tidak merasa heran lagi dengan perilaku rekan kerja saya dalam memburu perangko, dan kesukaan adik saya mengoleksi uang logam yang pernah berlaku di Republik Indonesia. Menjadi seorang kolektor sejati itu bukan karena perkara finansial, melainkan didorong atas dasar emosional.
Tapi apa iya, bahwa seorang kolektor sejati tidak bisa mendapatkan keuntungan finansial dari koleksi barangnya? Apa yang saya lihat pada tetangga depan rumah saya ternyata menunjukkan bahwa seorang kolektor sejati bisa juga mendapatkan keuntungan finansial dari barang-barang yang dikoleksinya.
Tetangga depan rumah saya itu adalah seorang milenial. Tapi walaupun dia seorang milenial, dia adalah seorang kolektor mobil Mercedes Benz (jaman dulu). Ada beberapa mobil Mercedes Benz yang usianya di atas 20 tahun yang parkir di halaman rumahnya. Dia bilang ada rasa senang di hatinya setiap kali melihat mobil-mobil Mercedes Benz jadul itu.
Setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia mengelus-elus mobil-mobil jadulnya itu. Demikian juga setelah pulang kerja, dia tak lupa untuk memberikan kehangatan pada mobil-mobil jadulnya itu. Luar biasa mesranya hubungan yang terjalin antara seorang kolektor dan barang koleksinya. Kalau saja mobil-mobil jadul itu bernyawa, mungkin dia harus memilih satu yang terbaik dari beberapa yang tersedia sebagai pasangan hidupnya. 'Kan anti poligami? Hihiihiii...!
Tetangga saya itu mengatakan bahwa ada rasa geregetan ketika dia sedang berburu mobil Mercedes Benz jadul yang usianya di atas 20 tahunan. Tapi, katanya lagi, rasa geregetan itu akan hilang dan berganti menjadi sebuah kepuasan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata ketika mobil jadul tersebut didandani sehingga terlihat menjadi seperti baru kembali.
"Mau dijual?"
"Iya, bisa dijual juga kalau ada yang berminat," kata tetangga saya itu. "Tapi yang beli biasanya memang orang -orang yang punya hobi yang sama; sama-sama suka mobil Mercedes Benz."
"Kalau laku terjual, tentu saja ada untungnya walau gak banyak juga karena harus dipotong biaya-biaya ngedandaninnya," lanjutnya sambil tersenyum. Tapi senyumnya senyum puas, bukan senyum fals. Karena itu, saya menduga bahwa keuntungan dari hasil penjualan mobil Mercedes Benz koleksinya adalah lumayan juga.