Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Bola

Belajar "Legowo" di El Clasico

24 Desember 2017   21:58 Diperbarui: 24 Desember 2017   21:59 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

El Clasico Edisi 236 usai sudah. Pemenangnya sudah kita ketahui bersama, Barcelona. Skor 0-3 penegas dominasi Barca di La Liga musim ini. Namun, bukan Madrid namanya kalau langsung membuang handuk tanda menyerah. 

Musim ini masih panjang. Masih ada 17 laga tersisa menuju singgasana. Namun Barcelona selangkah dua langkah menuju penahbisan trofi juara karena gap yang kian melebar sampai dua digit dengan Real Madrid, salah satu kuda pacu utama dari duopoli La Liga bersama Barca.

Bukan El Clasico namanya jika laga berjalan biasa-biasa saja. Maklum, El Clasico lebih dari sekadar pertarungan di atas lapangan. El Clasico bukan hanya membenturkan antara Messi vs Ronaldo, tetapi juga kultur, politik, ekonomi hingga pertarungan ideologi antara bangsa Catalunya dan Spanyol. 

Jadi jangan heran ketika El Clasico dibumbui intrik, drama, bahkan klaim konspirasi semu ciptaan masing-masing kubu. Madrid menuding wasit cenderung memihak Barca. Pun sebaliknya. Bahkan tuding-menuding ini sampai melibatkan fans di masing-masing kubu.

Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar ada wasit yang memimpin El Clasico disanksi akibat segala tudingan tersebut. Semua tudingan tertelan bumi. Hanya panas sehari dua hari, kemudian hilang tanpa jejak. Mungkin ini terjadi karena tak ada sikap ksatria menerima kekalahan. Legowo mengakui kelebihan rival, dan mengkritisi problem di internal sendiri. 

Kita sibuk mencari kesalahan orang lain (wasit), padahal manusia memang tempatnya salah dan keliru. Jadi tak perlu mencari kesalahan manusia. Pahami saja hakikat tersebut agar kita bisa belajar ikhlas menerima kenyataan. Berpikir positif, menempatkan sisi baik dalam segala suasana, apapun itu.  

Menuntut wasit memimpin sempurna, mustahil. Sungguh tak adil bagi wasit ketika satu kesalahan harus menghapus kebenaran putusan yang diambil sepanjang 90 menit waktu normal. Lain soal jika La Liga memberlakukan sisten VAR seperti di Liga Inggris. Sepanjang belum ada teknologi, jangan berharap kesempurnaan. 

Gol 'hantu' Messi di jala Valencia adalah contoh betapa wasit bukan malaikat. Dan laga semalam, segelintir fans Madrid kembali tak ikhlas menerima kekalahan. Wasit (lagi-lagi) menjadi tempat tudingan paling "indah" guna melampiaskan kekecewaan.

Mereka punya amunisi untuk dimuntahkan dengan peluru kekecewaan. Padahal kalau kita mau jujur, wasit juga keliru ketika memberikan kartu kuning kepada Sergio Ramos yang seharusnya kartu merah akibat terlihat jelas oleh kamera memukul leher Suarez dengan sengaja. Itu kekeliruan yang tak perlu dibesar-besarkan. Soal handsball pemain Barca juga masih debatable. 

Intinya, kecewa boleh, tapi tidak sampai harus mencari kambing hitam untuk disalahkan guna menutupi kekurangan. El Clasico sebenarnya memberi kita pelajaran bagaimana seharusnya kita mengakui kekalahan, berjiwa besar, dan legowo mengakui keunggulan lawan, karena El Clasico bukan laga biasa (Lukman Hamarong) 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun