Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mensyukuri Perunggu

4 September 2017   20:40 Diperbarui: 4 September 2017   20:47 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah perdebatan panjang tentang layak tidaknya timnas sepak bola kita yang berlaga di SEA Games Malaysia diberikan pujian, masih menjadi bola salju yang menggelinding tanpa arah tujuan yang jelas. Sebenarnya antara yang menyanjung dan yang menolak menyanjung muaranya sama, ingin timnas kita tampil istimewa. Istimewa di sini tentunya berupa prestasi tertinggi, yakni EMAS, medali paling dirindukan segenap pesepak bola nasional yang terakhir direngkuh pada 1991 silam. Sudah cukup lama. Sampai kapan? Biarlah waktu yang menjawab, sampai kapan kita menunggu momen emas itu.

Kita baru saja keluar dari periode kelam sepak bola nasional. Suspensi berupa sanksi tak boleh ikut serta dalam seluruh hajatan FIFA, otoritas tertinggi sepak bola dunia, sudah kita lalui  dengan harapan ada perbaikan dari sisi prestasi. Namun, dua tahun berjalan sejak sanksi itu jatuh, belum juga menunjukkan ada tanda-tanda kebangkitan, sebelum datang momen menuju emas di mana timnas Garuda Muda kita tampil menawan sampai di semifinal kontra Malaysia.

Simak perjalanan timnas kita. Menahan Thailand, Raja Sepak Bola Asia Tenggara, dengan skor imbang 1-1 yang akhirnya menjadi juara. Kemudian menang 3-0 atas Filipina. Lalu menang tipis atas Timor Leste, menahan Vietnam dengan skor kacamata, serta mengalahkan Kamboja 2-0, sebelum akhirnya takluk 0-1 dari tuan rumah di menit-menit akhir waktu normal. Sanjungan dan rasa bangga pun mengalir buat Timnas Garuda Muda kita usai laga melelahkan kontra Malaysia itu.

Bukan skor akhir yang berbuah kekalahan yang kita sanjung. Sekali lagi, bukan kekalahannya yang kita sanjung, melainkan semangat juang dan agresivitas permainan yang ditunjukkan anak-anak asuh Luis Milla yang mampu mendominasi permainan, meski akhirnya harus membungkuk pada hasil akhir. Jelas sekali genangan air di kelopak mata para pemain kita menggambarkan suasana batin mereka yang sesungguhnya. Perjuangan heroik di sepanjang dua babak belum mampu mengantarkan mereka ke final.

Nah, sanjungan dan rasa bangga itu haruskah mendapat "perlawanan" dari mereka yang menolak memberikan apresiasi atas perjuangan heroik mereka? Beruntung, dominasi sanjungan dan rasa bangga dari rakyat Indonesia masih unggul dari mereka yang menolak. Apa jadinya ketika mereka sudah memberikan sesuatu yang baik, tapi belum dihargai. Mungkin atas dasar itu pula, timnas kita masih mampu memberikan senyuman kepada pencinta sepak bola tanah air dengan medali perunggu usai mencukur Myanmar 3-1. Syukuri perunggu, karena belum tentu medali itu ada jika permainan timnas kita tidak bagus di lapangan.   

 Luis Milla memang memiliki profil tinggi ketimbang pelatih negara lain di Asia Tenggara, tapi apa artinya memiliki pelatih dengan CV paling tinggi tapi kemudian hanya memiliki persiapan yang pendek. Pelatih sekelas Pep Guardiola atau Jose Mourinho mungkin tak bisa berbuat lebih dengan kondisi seperti itu. Namun, Milla sudah membangun pondasi sepak bola yang lebih baik. Untuk itu, tetap kepalkan tangan di dada, sebagai tanda semangat terus digelorakan. "Tak ada perjuangan yang sia-sia. Kami tetap bangga," sambil memberikan jempol, Ketua DPR Zulkifli Hasan berbaur dengan para suporter merah-putih. (Lukman Hamarong)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun