Mohon tunggu...
Imanuel Sairo Awang
Imanuel Sairo Awang Mohon Tunggu... -

Pengajar di STKIP Persada Khatulistiwa Sintang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Quo Vadis: Pemuda Indonesia

28 Oktober 2016   15:02 Diperbarui: 28 Oktober 2016   15:13 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemuda menyiratkan makna sesungguhnya pun menggelontorkan sejumlah makna konotasi. Pemuda yang bermakna sesungguhnya berarti seseorang yang berusia muda tidak lebih dari 30-35 tahun. Seorang berusia muda merefleksikan semangat yang bernyala-nyala, petualang, serta tidak cepat puas terhadap suatu pencapaian. Sosok demikian memang selalu ditonjolkan, tak heran banyak orang selalu menggelorakan kalimat generasi muda sebagai penerus bangsa. Karena ditangan orang berusia muda yang masih mempunyai banyak kesempatan, diletakkan asa, harapan dan cita-cita bangsa ini.

Pemuda bermakna konotasi, menampilkan makna yang luas. Pemuda sebagai orang yang berjiwa muda, yang tak hanya dilihat dari usia. Pemuda dalam pengertian ini melibatkan seluruh aspek, yakni karakter manusia Indonesia seperti tertuang dalam tujuan pendidikan nasional Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi “…manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pertanyaannya, sudahkah karakteristik pemuda Indonesia mengarah pada konsep tersebut? Rasanya, kita masih menarik nafas panjang untuk berkata jujur, bahwa masih jauh panggang dari api. Artinya, kita masih harus terus berjuang, mengupayakan agar pemuda Indonesia kelak menjadi manusia yang sesuai dengan cita-cita luhur founding fathers bangsa Indonesia ini.

Banyak dinamika dalam konteks merajut keIndonesiaan kita, dimana peran pemuda masih belum optimal. Dari aspek intrapribadi saja masih banyak pemuda Indonesia yang bahkan belum mengetahui posisi atau memposisikan dirinya dalam dimensi ruang hidupnya. Secara metakognisi, kita belum mengetahui bahkan belum mampu mengetahui, ke-tahu-an kita. Sehingga untuk memposisikan diri pada dimensi hidup yang lebih luas, tidak jarang kita menjadi orang yang sangat panik, takut, karena tidak tahu harus berbuat apa. Sedikit saja menyinggung entitas diri dan kelompok, kita langsung beranggapan bahwa orang/kelompok lainlah yang bersalah.

Banyak kejadian –yang ditampilkan media- mempertontonkan bahkan sangat vulgar, betapa orang dengan sangat mudah meluapkan kebencian terhadap orang lain.  Munculnya istilah hatters, menjadi lahan yang sangat empuk bagi tertanamnya benih-benih kebencian kepada orang/kelompok lain. Fenomena ini menasbihkan betapa kita, bangsa kita, sudah sangat permisif terhadap hal-hal yang jauh dari adat ketimuran yang –doloe- sangat melekat dalam diri masyarakat Indonesia.

Memang, apabila dikaji secara komprehensif, masih banyak juga pemuda Indonesia yang tetap berusaha menampilkan sisi manusia Indonesia yang bertujuan pada Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara. Namun demikian, porsi keseriusan kita adalah pada hal yang dirasa belum menunjang semangat pemuda Indonesia tersebut –setidaknya dalam ruang hidup masing-masing. Oleh karena itu, sudah sejauh mana usaha kita dalam mengemudi bangsa Indonesia pada jalur yang benar? menjadi permenungan kita masing-masing. Pemuda Indonesia, quo vadis?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun