"Tepung daun kelor  seukuran debu itu dapat digunakan sebagai bahan campuran produk apapun  baik itu makanan, kapsul, atau kosmetik," ujar Dudi. Untuk menghasilkan  tepung sehalus itu caranya dengan mengisap "debu" saat proses penepungan  daun kelor kering.
Dudi menjual sebagian besar produk tepung dan olahan kelor ke  mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Myanmar, Korea  Selatan, dan negara-negara lain di Benua Afrika, Eropa, serta Amerika. Â
"Pasar Indonesia malah sedikit karena di masyarakat kita beredar mitos  kalau kelor berhubungan dunia mistis," ujar alumnus Fakultas Pertanian  Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat, itu. Untuk pasar lokal,  Dudi memasarkan aneka produk olahan kelor melalui 71 gerai yang tersebar  di seluruh Indonesia.
Dalam sebulan Dudi mampu menjual rata-rata 2 ton tepung daun kelor  dengan harga Rp250.000 per kg atau total omzet rata-rata Rp500 juta per  bulan. Tepung daun kelor itu menjadi bahan baku berbagai olahan, seperti  teh, aneka jenis makanan, kapsul herbal, dan aneka produk kosmetik.
Dudi memperoleh pasokan bahan baku kelor dari pekebun mitra, salah  satunya Felix Bram Samora. Pemuda asal Blora itu mengebunkan kelor  secara organik di lahan 3 hektar sejak 2014. Lokasi kebun bersebelahan  dengan area pengolahan kelor milik Dudi. "Idealnya lokasi kebun dekat  dengan lokasi pengolahan karena hasil panen daun kelor harus segera  diolah sebelum 4 jam," tutur Dudi.
Dari kebun seluas itu Bram memanen rata-rata 500 kg daun kelor segar  setiap dua hari. Hasil panen itu ia jual ke Dudi, lalu dikeringkan. Dari  jumlah hasil panen itu menghasilkan 50 kg daun kelor kering atau  rendemen 10%. "Setiap bulan saya harus membayar ke Bram rata-rata Rp75  juta per bulan," ujar Dudi sambil tersenyum.Â
Selain dari Bram, Dudi juga  memperoleh pasokan tepung daun kelor dari para pekebun di NTT. "Mereka  sudah punya unit pengolahan sendiri sehingga bisa menjual dalam bentuk  tepung," tambahnya.
Saat Ir. Erna Witoelar menjabat sebagai  Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah dan Siswono Yudohusodo  menjabat sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), ia  pernah diingatkan bahwa kita harus mengembangkan tanaman pangan tak  hanya sekadar untuk mencapai target ketahanan pangan, tapi lupa  memperhatikan kandungan nutrisinya.Â
"Oleh sebab itu wajar jika beberapa  wilayah di Indonesia masih banyak yang penduduknya mengalami malnutrisi  alias kekurangan gizi," jelas Dudi yang ketika itu aktif sebagai Ketua  HKTI Kabupaten Ciamis dan aktif juga di HKTI Pusat.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia  juga masih "berutang" dalam memenuhi deklarasi Millenium Development  Goals (MDGs), yakni kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189  negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk meningkatkan  kesejahteraan dan pembangunan masyarakat.Â