Mohon tunggu...
Imam Wiguna
Imam Wiguna Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Karyawan swasta, ayah dua anak, tinggal di Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bebas Pegal Saat Traveling ke Jepang

8 Januari 2018   23:46 Diperbarui: 8 Januari 2018   23:51 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Kota Yuzawa yang merupakan sentra beras koshihikari.

Setelah menempuh perjalanan dengan pesawat terbang selama 6 jam dari Jakarta, akhirnya saya tiba di bandara Narita, Prefektur Chiba, Jepang. Namun, perjalanan masih jauh. Maklum, yang saya tuju kali ini adalah sebuah kota kecil, yakni Kota Yuzawa, Distrik  Minamiuonuma, Prefektur Niigata, Jepang. Dari bandara Narita saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan kereta skyliner, semacam kereta bandara ke Stasiun Ueno di Tokyo, Jepang. Di bandara Narita saya dijemput Yu Ochiai dari Yukiguni Maitake, Co. Ltd., salah satu perusahaan produsen jamur maitake terbesar di Jepang, yang mengundang saya berkunjung ke perusahaannya di Kota Yuzawa.

Dari bandara Narita, kami menuju ke stasiun kereta bandara. Jaraknya lumayan jauh saking luasnya area bandara. Tapi kami harus berjalan kaki ke stasiun. Kebiasaan orang Jepang yang berjaan cepat membuat saya kewalahan. Maklum, bobot tubuh saya hampir sekuintal, jadinya kerepotan kalau berjalan cepat. Belum lagi tentengan tas baju yang salahnya saya malah membawa tas tenteng, bukan koper yang ada rodanya. Akhirnya saya pun kerap ketinggalan berjalan. Yu seringkali berhenti untuk menunggu saya yang berjalan seperti pinguin. 

Dari stasiun bandara kami menempuh perjalanan sekitar 1 jam ke stasiun Ueno di Tokyo, Jepang. Dari stasiun itu kami melanjutkan perjalanan lagi menggunakan kereta supercepat atau shinkansen ke Kota Yuzawa. Stasiun Ueno itu begitu luas. Meski dipandu oleh orang Jepang sendiri, kami tetap saja kesulitan menemukan lokasi jalur pemberangkatan menuju Kota Yuzawa karena saking luasnya. Lagi-lagi kami harus berjalan cepat karena waktu pemberangkatan sudah mepet. Gara-gara berjalan cepat itu badan terasa berkeringat. Padahal, suhu udara pada September 2017 itu tergolong sejuk karena menjelang musim gugur, yakni berkisar 14-19 derajat celcius. Dan yang pasti, kaki dan bahu pegal-pegal karena lelah berjalan dan menenteng tas.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 35 menit menggunakan shinkansen, kami akhirnya tiba di Kota Yuzawa pada pukul 20.00. Kota itu begitu sepi. Waktu  makan malam sudah lewat sehingga sebagian besar warga berada di rumah.  Padahal, kami belum makan malam. Kami akhirnya singgah sebentar di hotel untuk menyimpan barang, lalu kembali bergegas untuk mencari makan malam. Kelelalahan kami pun belum juga usai. Untuk mencari restoran yang masih buka, kami harus berjalan kaki menyusuri jalan di Kota Yuzawa yang sepi. Beruntung ada sebuah restoran bernama Yasuyoshi masih buka untuk makan malam. Jarak  restoran dari hotel tempat menginap sekitar 1 km.

Restoran Yasuyoshi yang menyajikan menu berbahan jamur maitake.
Restoran Yasuyoshi yang menyajikan menu berbahan jamur maitake.
Di restoran itu pengunjung dapat memilih duduk di kursi atau duduk  lesehan beralas tatami---tikar khas Jepang yang terbuat dari tenunan  jerami. Setelah menentukan tempat duduk, seorang pramusaji pun  menghampiri seraya membawa daftar menu. "Kami pesan menu makanan  berbahan maitake," tutur Direct Marketing General Manager Yukiguni  Maitake Co., Ltd., Yu Ochiai yang mendampingi penulis.

Maitake adalah jamur yang sangat  populer di Jepang karena kelezatan dan khasiatnya. Bahkan, banyak hasil penelitian di Jepang yang mengungkap bahwa maitake berkhasiat sebagai antikanker. Maitake sejatinya sohor sejak dahulu kala. Guru besar emeritus  Univeritas Kobe, Jepang, Prof. Hiroaki Nanba, Ph.D., peneliti maitake sejak 1983, menceritakan  maitake makanan para samurai pada zaman Edo pada sekitar 1800-an. Para  samurai itu jarang sekali sakit dan memiliki stamina prima. Maitake tak hanya berkhasiat tetapi juga  lezat.

Itulah sebabnya maitake menjadi begitu berharga. Jika menemukannya di  alam, maka sang penemu akan menari kegirangan. Pantas jamur itu diberi  nama maitake yang dalam bahasa Jepang berarti penari. Sayangnya jamur  itu sulit dibudidayakan sehingga masyarakat menganggap maitake sebagai  "a mushroom in phantasm" alias jamur fantasi. Sampai akhirnya seorang  petani di Jepang, Yoshinobu Ordaira, berhasil membudidayakan jamur yang bernama ilmiah Grifola frondosaitu pada1980-an. Pada 1983 Yoshinobu mendirikan Yukiguni Maitake Co., Ltd., yang fokus memproduksi maitake. Lokasi pabrik di Kota Yuzawa yang akan kami kunjungi esok hari. 

Jamur maitake yang terkenal di Jepang karena kelezatan dan khasiatnya.
Jamur maitake yang terkenal di Jepang karena kelezatan dan khasiatnya.
Setelah menunggu selama 15 menit, pramusaji pun datang membawa nampan  berisi aneka jenis makanan. Menurut Yu ciri khas restoran Jepang, dalam  satu paket menu terdapat banyak jenis makanan, tapi dengan porsi  kecil-kecil. Dalam menu itu terdapat tiga jenis makanan yang menggunakan  bahan utama maitake.  Salah satunya maitake yang diolah menjadi  tempura, makanan khas Jepang yang biasanya terbuat dari aneka  sayur-sayuran atau makanan laut yang dicelupkan ke dalam adonan tepung  terigu dan telur. Warga di sana mengencerkan adonan dengan air dingin,  lalu menggorengnya dalam minyak goreng yang banyak hingga warna kuning  muda.

Tempura maitake.
Tempura maitake.
Pramusaji menghidangkan tempura maitake bersama tempura labu kabocha  dan mentimun jepang alias kyuri. Ia menempatkan penganan lezat itu dalam  wadah seperti nampan, tapi gagang bagai keranjang. Selain itu pramusaji  juga menghidangkan sup maitake putih Grifola frondosa dalam  poci keramik kecil. Padahal, poci lazimnya untuk menyajikan teh.  Ternyata sup dalam poci itu untuk memudahkan konsumen menikmatinya  menggunakan sumpit.

Sup maitake.
Sup maitake.
Konsumen dapat menyantap sayuran dalam sup menggunakan sumpit,  kemudian menikmati air sup dengan menuangkannya ke cawan kecil yang  tersedia dan meminumnya. Hidangan maitake terakhir adalah nimono  maitake, yaitu makanan yang direbus dalam kaldu yang diberi bumbu  dashi---bumbu dasar dalam masakan Jepang, mirin, dan kecap asin. Orang  Jepang biasanya mengolah aneka jenis sayuran dan jamur menjadi nimono.

Untuk mengolah maitake menjadi nimono, juru masak merebus bahan  makanan itu hingga kaldu habis meresap. Rasa nimono agak manis yang  berasal dari mirin. Yu menuturkan di Kota Minamiuonuma banyak restoran  yang menyajikan hidangan berbahan maitake. Menurut Yu kota seluas 584,8  km2 itu menjadi sentra produksi maitake sejak Yukiguni  Maitake Co., Ltd., berhasil membudidayakan maitake di luar habitat  aslinya pada 1983. Yukiguni Maitake Co., Ltd., salah satu produsen maitake terbesar di  Jepang. Perusahaan itu memiliki 4 lokasi budidaya berkapasitas produksi  31 ton maitake per hari. "Di sini juga banyak petani yang membudidayakan  maitake dalam skala kecil. Mereka biasanya memasok restoran-restoran di  sini," tutur Yu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun