Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Bima Tiktoker dan Potret Hasil Pendidikan Kita

4 Mei 2023   09:03 Diperbarui: 4 Mei 2023   09:21 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelum ingar-bingar dan semarak perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2023 saat ini, beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh suara lantang dan kritis, sosok mahasiswa asal Lampung, Indonesia yang belajar di luar negeri, yaitu Bima Yudho Saputro. Selain berprofesi sebagai mahasiswa S1 di Australia ini, Bima sangat aktif di media sosial, sebagai content creator, terutama di platform TikTok. 

Keberanian Bima dalam mengkritik pemerintah daerah Lampung soal infrastruktur, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan mengundang reaksi berbagai elemen di Indonesia, tak hanya masyarakat biasa, tetapi hingga para tokoh dan pejabat di negeri ini. Bahkan mayoritas warganet atau netizen mendukung aksi Bima tersebut. Beragam komentar dan konten-konten mendukung Bima berseliweran di media sosial.

Namun di balik itu, tidak sedikit pihak-pihak yang merasa risih dan keberatan dengan penggunaan kata-kata atau gaya bahasa Bima. Meskipun secara substansi, kritik Bima itu benar, tetapi penggunaan bahasa atau diksinya cenderung tidak sopan dan meremehkan orang lain. 

Seperti kata-kata "Kena lo, dajjal, kroco-kroco", dan seterusnya. Tak hanya sampai di sini, di konten sebelumnya, Bima menyebut Megawati Soekarnoputri yang notabene mantan presiden RI dengan kata "janda". Bahkan tak tanggung-tanggung, presiden pertama Indonesia, Soekarno juga mendapat kata-kata tak pantas. Ditambah pula, ekspresi wajah dan gesture Bima yang terkesan menghina dan meremehkan lawan bicaranya, semakin membuat netizen yang sebelumnya mendukung, kini justru murka dan menyerang balik dirinya.

Bima dianggap telah keblabasan dan dicap sebagai anak muda yang tak punya adab, etika, akhlak, sopan santun, karakter, dan budaya bangsa yang luhur. Sebagai generasi melinenial, boleh-boleh saja berpikir kritis, kreatif, dan berani melontarkan kritik pedas ke pemerintah atau ke siapa pun, namun tidak melakukannya dengan unsur penghinaan dan merendahkan harkat martabat manusia. Akibatnya, kini Bima "dirujak" netizen, bahkan menyerang pribadinya. Bima dikatakan sebagai anak kurang ajar, tak berpendidikan, dan laki-laki bertulang lunak alias "kefemininan". Tak hanya itu, orangtuanya pun turut dibawa-bawa, karena dianggap tak bisa mendidik anak dengan baik.

Dampak fatalnya, akun tiktok Bima Yudho Saputro di-banned permanen oleh platform TikTok, karena dianggap melanggar komunitas.

Inikah Buah dari Konsep Merdeka Belajar?

Nah, saya tertarik untuk membawa fenomena sosok Bima ke dunia pendidikan kita saat ini. Sebagaimana diketahui, kebijakan dunia pendidikan kita di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Indonesia terus menggaungkan konsep dan gerakan "Merdeka Belajar", yang sesungguhnya diadopsi dari pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara, sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Bahkan dalam pidatonya di momentum Hardiknas 2023 yang juga beredar di jagat maya, Nadiem mengklaim bahwa selama tiga tahun telah melakukan perubahan besar di dunia pendidikan, dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Menurut Nadiem, sebanyak 24 episode Merdeka Belajar sudah diluncurkan dan semakin mendekatkan pada cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu konsep idealisme pendidikan, yang mampu menuntun bakat, minat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan sebagai anggota masyarakat. 

Murid-murid sekarang diklaim bisa belajar dengan lebih tenang, karena aktivitas pembelajaran mereka dinilai secara lebih autentik dan holistik oleh gurunya sendiri. Bahkan, sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran mendalam untuk mengembangkan karakter dan kompetensi, seleksi masuk perguruan tinggi negeri pun difokuskan pada pengukuran kemampuan literasi dan bernalar. 

Intinya, konsep Merdeka Belajar dengan kurikulum dan sistem pendidikan yang sedang dibangun, terus berkomitmen untuk memperjuangkan agar semua anak bangsa merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya dalam belajar dan bercita-cita. Buah atau perwujudan dari Merdeka Belajar adalah profil generasi Pelajar Pancasila yang cerdas berkarakter, dan mampu membawa Indonesia melompat ke masa depan dengan pendidikan yang memerdekakan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun