Berpidato dengan teks atau sontekan jelek? Eiits, tunggu dulu. Selama ini saya bergelut di dunia public speaking, yang namanya berpidato di depan massa yang banyak memang harus direncanakan dan terkonsep dengan baik. Kecuali jika sifatnya spontanitas atau tunjukan, yang biasanya di acara informal, ya cukup apa yang ada di kepala kita saja.Â
Tetapi kalau acara resmi, biasanya jauh-jauh hari sudah ada undangan atau permintaan, dan apa yang mau kita sampaikan ke audiens atau publik harus kita tulis secara cermat, rapi, dan terstruktur. Kita harus banyak membaca referensi, berselancar di internet, bahkan tanya kepada pakar yang paham tentang permasalahan yang mau kita sampaikan. Jangan sampai informasi, pengetahuan, data, fakta, argumen, dan narasi yang kita sampaikan salah atau menyesatkan. Sungguh fatal akibatnya.
Nah, sekarang pada saat hari H atau pas penyampaian materi. Apakah naskah yang sudah kita buat, mau kita baca apa adanya, mau kita hafalkan, ataukah kita ringkas menjadi poin-poin atau garis besar urutan penyampaian materi? Itu semua pilihan kita. Di dalam teknik berpidato, semua dibenarkan. Hanya saja, kita harus melihat kondisi hadirin dan konsep acaranya.
Memang di dunia public speaking dan ilmu presentasi terbaru, bahwa berpidato yang baik itu bisa melibatkan audiens atau pendengar secara audio, visual, dan kinestetik. Artinya, audiens atau penonton bisa mendengarkan suara narasumber dengan jelas, bisa melihat ekspresi wajah, mimik, kontak mata, gerakan tangan, gesture, dan gerakan tubuh narasumber di depan, serta mengajak audiens untuk berinteraksi atau melakukan aktivitas tertentu.
Nah untuk bisa efektif dan atraktif seperti itu, tentu model atau strategi public speaking yang dipilih tak bisa hanya dengan membaca teks atau menghafal. Kita jadi terkesan bicara sendiri tanpa memedulikan keberadaan audiens.Â
Maka, yang paling tepat adalah dengan mengacu pada kisi-kisi, poin-poin, atau garis besarnya saja. Sedangkan penjelasan atau deskripsi secara detail adalah improvisasi dan penalaran dari pembicaranya sendiri.Â
Di dunia ilmu presentasi modern, poin-poin itu bisa diwujudkan dalam bentuk slide-slide yang menarik dengan aplikasi atau program powerpoint, yang nantinya ditayangkan di depan audiens. Tak hanya berisi poin-poin tulisan, slide presentasi kita, bisa dikombinasikan dengan gambar, video, grafik, dan musik, agar lebih menarik audiens yang menyimak.
Jadi, kalau kita berpidato dengan membawa sontekan atau teks berupa poin-poin atau kisi-kisi, itu justru dianjurkan, agar materi yang kita sampaikan tidak lupa dan tetap sesuai urutan yang sudah kita susun sejak awal.
Asal bukan jiplakan lho ya. Kalau jiplakan itu buatan orang lain, yang menulis orang lain, kita sekadar meniru, membaca, atau mengutip. Berbeda kalau kita sekadar minta tolong untuk dituliskan atau diketikkan oleh orang lain, tetapi ide besar, gagasan, dan isi pidato tetap dari kita.Â
Tidak tertutup kemungkinan, orang lain bisa menambahkan atau memberi masukan. Namun, jika kita hanya menjiplak materi orang lain, akan terlihat sekali kita tidak menguasai substansi permasalahan. Pembicaraan kita "ngambang" dan "garing", akhirnya tak mengena sasaran. Terlebih lagi kita bukan pelaku utama di topik tersebut, maka akan terjebak pada teori dan retorika semata tanpa makna.
Debat yang Tak Berdebat