Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hardiknas, 2 Mei 2017: Memutus Dualisme Pendidikan Dasar

2 Mei 2017   10:17 Diperbarui: 7 Maret 2019   17:54 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: tribunnews.com

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2017, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memfokuskan pada program percepatan pendidikan yang merata dan berkualitas. Dua kata ini (baca: pemerataan dan mutu pendidikan) yang tampaknya menjadi permasalahan utama dalam dunia pendidikan kita dari dulu hingga saat ini.

Data menunjukkan, 32 kabupaten di Indonesia berada di bawah 90 persen untuk angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang pendidikan dasar. Bahkan dari 32 kabupaten tersebut, 10 di antaranya masih di bawah 75 persen. Data keprihatinan ini masih ditambah adanya 300.000 anak sekolah dasar (SD) putus sekolah (drop out)setiap tahunnya. Kalau merujuk data Kemendikbud tahun 2015-2016, ternyata ada sekitar 946.013 siswa lulus SD yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan secara keseluruhan, data dari United Nations International Children's Emergency Fund(UNICEF) tahun 2016 menunjukkan sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat mengenyam pendidikan lanjutan (SMP). Sungguh angka-angka yang mencengangkan, mengingat bangsa ini telah merdeka 71 tahun.

Maknanya masih banyak anak usia SD yang belum tuntas menempuh pendidikan dasar 9 tahun. Padahal jika merunut sejarah, program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Program ini tentu saja bagian dari amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.

Jika mencermati data di atas, ternyata itu baru di jenjang sekolah dasar, tentu akan semakin tinggi angka putus sekolah untuk jenjang menengahnya, baik level SMP maupun sekolah menengah atas (SMA). Padahal program wajib belajar 6 tahun, harusnya telah beres di tahun 1984, namun hingga sekarang masih menjadi momok.

Berbicara data berupa angka-angka, tentu berkaitan dengan kuantitas atau jumlah ketercapaian. Namun belum tentu fokus pada soal mutu atau kualitas. Jika membahas mutu pendidikan di Indonesia, tentu bukan rahasia lagi, kalau kita masih kalah jauh tertinggal dengan negara-negara Eropa, bahkan di lingkup Asia Tenggara pun, Indonesia belum bisa bicara banyak.

Mungkin akan terlalu menyakitkan jika kita membandingkan dengan negara-negara lain soal mutu pendidikan Indonesia. Cukup kita fokus pada mutu pendidikan dari kacamata sistem pendidikan nasional. Soal mutu pendidikan, saya lebih senang mengerucut pada standar proses dan keluaran (standar kompetensi lulusan). Standar proses mencakup bagaimana kualitas pelayanan pendidikan yang diberikan kepada siswa didik dan orang tua. Dan ukurannya adalah penilaian kinerja sekolah atau akreditasi. Tentu harapannya dengan proses pembelajaran yang bermutu, akan menghasilkan mutu lulusan yang baik pula.

Maka, jika kita menyoroti dari standar proses, sungguh lebih memprihatinkan lagi, jika dibandingkan dengan menyoal jumlah partisipasi pendidikan. Tercatat di jenjang sekolah dasar, hanya 20.000 sekolah saja yang memiliki akreditasi A dari 148.000 sekolah.Sisanya, terdapat 77.000 terakreditasi B, 29.000 terakreditasi C, dan lainnya belum terakreditasi. Padahal, akreditasi yang dijalankan pemerintah hanyalah standar minimal dan cenderung formalitas dan administratif. Misalnya soal kualitas guru dalam mengajar di kelas, kadang hanya dilihat dari dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) saja. Padahal, jika diteliti isinya, akan mirip-mirip, karena memang hanya copy-paste.

Penyatuan SD dan SMP

Penulis sepakat dengan tema Hardiknas kali ini, untuk benar-benar fokus pada pemerataan akses dan perbaikan kualitas pendidikan. Dua persoalan besar ini yang harus dicari solusinya secara mendasar dan radikal, bukan hanya kamuflase atau di permukaan saja. Kita tahu, ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya angka partisipasi sekolah, termasuk tingginya angka drop out(DO). Faktor tersebut bisa meliputi tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat yang rendah, pemahaman sosial dan budaya, dan keterjangkauan sekolah secara geografis.

Namun kali ini, saya tidak terlalu tertarik untuk membahas faktor ekonomi yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah, terutama dari jenjang SD ke SMP. Melainkan saya lebih suka menyoroti tentang sistem pendidikan kita yang memang belum berpihak dan sinkron terhadap program wajib belajar 9 tahun. Mau tahu buktinya?

Menurut saya, jika memang pemerintah ngotot untuk segera menuntaskan program ini, sistem penataan pendidikan dasar harus dikaji ulang, baik secara filosofis maupun kebijakan kelembagaan. Pendidikan dasar 9 tahun adalah mencakup jenjang SD (6 tahun) dan SMP (3 tahun). Jika seperti ini, mengapa tidak dibuat satu atap, artinya dikatakan lulus pendidikan dasar ketika menyelesaikan studi di jenjang SMP, bukan di SD. Sekarang yang terjadi, siswa harus lulus SD dahulu, barulah bisa masuk SMP. Jika memang namanya program wajib pendidikan dasar 9 tahun, mengapa tidak dijadikan satu satuan pendidikan atau lembaga, bernama Unit Pendidikan Dasar (UPD), yang terdiri dari kelas I sampai dengan kelas IX. Sehingga tidak ada lagi penyebutan SD dan SMP, melainkan hanya unit pendidikan dasar, yang terdiri dari 9 strata kelas.

Maka, jika ini diterapkan ujian nasional atau ujian akhir sekolah hanya diberlakukan di kelas IX, tidak lagi di kelas VI. Dari kelas VI ke kelas IX hanyalah kenaikan tingkat atau kelas seperti biasa. Memang, saya tidak mengharapkan, kemudian secara fisik atau geografis, antara SD dan SMP dijadikan satu tempat, karena hal itu sangat tidak memungkinkan. Mengingat kondisi sekarang, lokasi SD dan SMP terpisah satu sama lain.

Sistem Rayon dan Zonasi

Tetapi nantinya, bisa dibuat sistem rayon berdasarkan zona atau daerah. Misalnya, SMP A yang berlokasi di kelurahan atau kecamatan tertentu membawahi atau melingkupi beberapa SD yang terdekat dengan SMP A secara geografis. nantinya akan diberi nama rayon sesuai daerahnya tersebut. Sekali lagi, basisnya bisa di lingkup kelurahan atau kecamatan, dan tergantung pula tingkat kepadatan penduduk daerah tersebut.   

Sistem rayon dan zonasi ini akan dapat meruntuhkan hegemoni sekolah-sekolah yang dikatakan favorit atau unggulan. Selama ini, sekolah favorit yang input siswanya bagus-bagus secara akademis sangat diuntungkan dari tingginya minat orang tua dari berbagai daerah untuk menyekolahkan di sana. Sedangkan sekolah-sekolah yang tidak diunggulkan, hanya menjadi pilihan kedua atau terakhir.

Dengan sistem rayon dan zonasi ini, pihak SMP dipaksa untuk mau menerima semua murid lulusan SD dari rayonnya sendiri yang telah ditetapkan sebelumnya. SMP ini tidak dapat menerima murid dari rayon lain, kecuali ada aturan khusus, misalnya tentang pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Seharusnya, setiap sekolah mau menerima ABK, namun terkait keterbatasan guru dan fasilitas, hanya sekolah-sekolah tertentu yang ditunjuk untuk menerima siswa ABK. Tetapi, sekolah seperti ini (baca: sekolah inklusi) harus ada di tiap kecamatan, sehingga siswa penyandang disabilitas ini dapat belajar di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Penulis merasa yakin, jika kebijakan satu atap (SD-SMP) dan sistem zonasi ini diterapkan, akan bisa menaikkan angka partisipasi sekolah di pendidikan dasar, sekaligus meningkatkan pemerataan mutu pendidikan. Sebab, berdasarnya data, tingginya angka putus sekolah juga diakibatkan siswa tersebut tidak lulus ujian akhir di SD, sehingga harus berhenti di tengah jalan. Dengan model satu atap, siswa kelas VI SD secara otomatis, naik ke kelas VII SMP, tanpa harus mengikuti ujian nasional, tidak seperti yang dijalankan sekarang ini. Sehingga hal ini akan memutus dualisme kelulusan di jenjang pendidikan dasar.

Selain itu, dengan terdistribusinya SMP-SMP berdasarkan rayon, maka akan terjadi penyebaran input siswa yang beragam. Kualitas sekolah akan diukur berdasarkan standar proses atau akreditasi dan kompetensi lulusannya. Mereka tidak lagi mengagung-agungkan kehebatan calon siswa dari aspek akademisnya, karena setiap sekolah mendapatkan murid yang beragam dari SD-SD yang terdapat di rayonnya. Semoga ini bisa terealisasi untuk pendidikan yang merata dan bermutu tanpa diskiriminasi.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Solopos.

Penulis: Imam Subkhan, Pengelola Akademi Orang Tua Indonesia Surakarta (AORTA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun