Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hardiknas, 2 Mei 2017: Memutus Dualisme Pendidikan Dasar

2 Mei 2017   10:17 Diperbarui: 7 Maret 2019   17:54 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: tribunnews.com

Maka, jika ini diterapkan ujian nasional atau ujian akhir sekolah hanya diberlakukan di kelas IX, tidak lagi di kelas VI. Dari kelas VI ke kelas IX hanyalah kenaikan tingkat atau kelas seperti biasa. Memang, saya tidak mengharapkan, kemudian secara fisik atau geografis, antara SD dan SMP dijadikan satu tempat, karena hal itu sangat tidak memungkinkan. Mengingat kondisi sekarang, lokasi SD dan SMP terpisah satu sama lain.

Sistem Rayon dan Zonasi

Tetapi nantinya, bisa dibuat sistem rayon berdasarkan zona atau daerah. Misalnya, SMP A yang berlokasi di kelurahan atau kecamatan tertentu membawahi atau melingkupi beberapa SD yang terdekat dengan SMP A secara geografis. nantinya akan diberi nama rayon sesuai daerahnya tersebut. Sekali lagi, basisnya bisa di lingkup kelurahan atau kecamatan, dan tergantung pula tingkat kepadatan penduduk daerah tersebut.   

Sistem rayon dan zonasi ini akan dapat meruntuhkan hegemoni sekolah-sekolah yang dikatakan favorit atau unggulan. Selama ini, sekolah favorit yang input siswanya bagus-bagus secara akademis sangat diuntungkan dari tingginya minat orang tua dari berbagai daerah untuk menyekolahkan di sana. Sedangkan sekolah-sekolah yang tidak diunggulkan, hanya menjadi pilihan kedua atau terakhir.

Dengan sistem rayon dan zonasi ini, pihak SMP dipaksa untuk mau menerima semua murid lulusan SD dari rayonnya sendiri yang telah ditetapkan sebelumnya. SMP ini tidak dapat menerima murid dari rayon lain, kecuali ada aturan khusus, misalnya tentang pelayanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Seharusnya, setiap sekolah mau menerima ABK, namun terkait keterbatasan guru dan fasilitas, hanya sekolah-sekolah tertentu yang ditunjuk untuk menerima siswa ABK. Tetapi, sekolah seperti ini (baca: sekolah inklusi) harus ada di tiap kecamatan, sehingga siswa penyandang disabilitas ini dapat belajar di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Penulis merasa yakin, jika kebijakan satu atap (SD-SMP) dan sistem zonasi ini diterapkan, akan bisa menaikkan angka partisipasi sekolah di pendidikan dasar, sekaligus meningkatkan pemerataan mutu pendidikan. Sebab, berdasarnya data, tingginya angka putus sekolah juga diakibatkan siswa tersebut tidak lulus ujian akhir di SD, sehingga harus berhenti di tengah jalan. Dengan model satu atap, siswa kelas VI SD secara otomatis, naik ke kelas VII SMP, tanpa harus mengikuti ujian nasional, tidak seperti yang dijalankan sekarang ini. Sehingga hal ini akan memutus dualisme kelulusan di jenjang pendidikan dasar.

Selain itu, dengan terdistribusinya SMP-SMP berdasarkan rayon, maka akan terjadi penyebaran input siswa yang beragam. Kualitas sekolah akan diukur berdasarkan standar proses atau akreditasi dan kompetensi lulusannya. Mereka tidak lagi mengagung-agungkan kehebatan calon siswa dari aspek akademisnya, karena setiap sekolah mendapatkan murid yang beragam dari SD-SD yang terdapat di rayonnya. Semoga ini bisa terealisasi untuk pendidikan yang merata dan bermutu tanpa diskiriminasi.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Solopos.

Penulis: Imam Subkhan, Pengelola Akademi Orang Tua Indonesia Surakarta (AORTA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun