Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penghapusan UN Jangan Sekadar Urusan Teknis dan Administatif

29 November 2016   11:01 Diperbarui: 30 November 2016   13:09 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: youthmanual.com

Terkait rencana penghapusan sementara atau moratorium Ujian Nasional (UN) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, terhitung mulai tahun 2017, saya sangat setuju, bahkan kalau bisa tidak bersifat sementara, namun seterusnya. Selama ini, pelaksanaan UN lebih banyak menimbulkan hal-hal yang negatif dibandingkan manfaatnya.

UN hanya menjadi beban mental dan psikis tahunan bagi siswa, guru dan orang tua. Sehingga orientasi belajar hanya untuk sukses UN. Maka, tidak heran jika demi nilai UN, beberapa oknum sekolah, dinas maupun siswa dan orangtua melakukan berbagai macam kecurangan. Belum lagi persoalan besarnya anggaran yang dibutuhkan, infrastuktur, SDM dan persoalan teknis lainnya, yang selama ini selalu gaduh setiap tahunnya.

Jika UN dijadikan parameter untuk pemetaan mutu program atau satuan pendidikan, itu pun tidak tepat. Pasalnya UN, merupakan uji kompetensi siswa yang lebih didominasi para ranah pengetahuan atau kognitif, sehingga tidak bisa mengukur kemampuan siswa secara menyeluruh atau holistik. Soal-soal yang bersifat kognitif atau kecakapan intelektual pun masih di level yang rendah (baca: Taksonomi Bloom), yaitu bersifat hafalan dan pemahaman saja.

Belum sampai pada tahapan soal-soal yang memuat aspek aplikasi keilmuan, analisis, evaluasi dan kemampuan mencipta siswa. Lalu, bagaimana dengan kompetensi siswa yang lain, yang sekarang ini justru menjadi prioritas untuk ditingkatkan, yaitu kompetensi sikap (afektif) spiritual, sosial dan keterampilan (psikomotorik) siswa? Apakah dengan UN yang hanya menguji mata pelajaran tertentu dengan soal-soal berupa pilihan ganda, dapat mengukur semua aspek kemampuan pada diri siswa? Tentu jawabannya tidak bisa.

Evaluasi Berbeda dengan Ujian

Padahal, jika UN digunakan sebagai instrumen evaluasi pendidikan, sungguh tidak menyasar lagi. Evaluasi berbeda dengan ujian. Evaluasi bicara perbaikan desain pembelajaran untuk peningkatan mutu ke depannya. Evaluasi tidak hanya menilai pada hilir atau hasil akhir, tetapi juga hulu dan proses yang berlangsung. Justru yang terpenting sekarang, jika ingin meningkatkan standar mutu pendidikan nasional, harus dibenahi dulu standar prosesnya.

Berbicara proses tentu saja terkait dengan strategi dan metode pembelajaran, penggunaan media atau alat peraga edukasi dan suasana pembelajaran yang semuanya bermuara pada kualitas atau kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Nah, ini yang mesti dievaluasi sebelum masalah hasil belajar, yaitu apakah proses pembelajaran yang dialami siswa sudah tepat dan efektifkah? Dan inilah sebenarnya tugas utama pemerintah, yaitu memperbaiki kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru, tentu saja dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.

Maka, menurut hemat saya, urusan penilaian, kembalikanlah kepada guru dan sekolah. Merekalah yang selama ini berproses bersama siswa, dan mereka pula yang berhak menilai hasil akhir belajar sekaligus menentukan kelulusan siswa. Hal ini selaras dengan tugas dan fungsi guru yang telah diatur dalam undang-undang, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik serta menetapkan keputusan tentang layak atau tidak dalam hal penentuan kenaikan kelas dan kelulusan. Di sini menjadi jelas, jika model UN tetap diterapkan, maka sebagian kewenangan guru menjadi hilang, khususnya masalah urusan menilai dan mengevaluasi peserta didik.

UN Hanya Berganti Baju
Dengan dasar ini, tentu saya kurang sependapat jika UN telah dihapus, tetapi dimunculkan ujian versi daerah, baik yang digelar oleh provinsi maupun kabupaten/kota. Saya khawatir, sistem dan polanya sama dengan UN, hanya kewenangannya saja yang dipindah ke daerah. Jadi, pada ujung-ujungnya tetap ada ujian berstandar nasional, tetapi dengan baju atau kemasan yang berbeda. Ini yang menurut saya perlu menjadi perhatian ke depan. Maka, kebijakan penghapusan UN oleh pemerintah, jangan hanya bersifat teknis dan administratif, tetapi harus pada substansi, ruh dan filosofi pendidikan itu sendiri.

Mari, kita kembali ke konsep pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan berpusat pada anak, pendidikan yang humanis dan pendidikan yang ramah anak. Sungguh ini selaras dengan falsafah konstitusi kita, yang tidak mengenal diskriminasi dalam pendidikan. Mari, proses pendidikan yang kita lakukan menggunakan pendekatan kebutuhan, potensi dan minat anak. Kurikulum dan metode pembelajaranlah yang harus menyesuaikan kebutuhan anak, bukan sebaliknya, termasuk dalam hal penilaian.

Semua harus disesuaikan dengan kondisi kemampuan anak. Perlu diingat bahwa, kecapakan intelektual hanya menjadi salah satu aspek kemampuan siswa, itu pun setiap anak memiliki level yang berbeda-beda, ada yang cerdas istimewa, cerdas, sedang atau biasa, kurang dan bahkan ada yang kurang sekali, atau dalam dunia pendidikan luar biasa, disebut anak tuna grahita. Haruskah mereka yang tidak cerdas intelektual tersingkir dari sistem pendidikan bumi pertiwi? Sungguh kita menjadi bangsa yang kejam, jika mengabaikan potensi yang dimiliki oleh setiap anak Indonesia. Maka, seandainya ujian lokal atau daerah tetap akan diselenggarakan, harus memperhatikan aspek-aspek di atas, yaitu berbasis pada keberagaman kondisi siswa secara utuh, sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya.

Pemerataan Mutu Pendidikan 
Setelah UN dihilangkan, lalu muncul pertanyaan tentang bagaimana alat atau instrumen yang digunakan dalam seleksi siswa untuk ke jenjang berikutnya. Selama ini, nilai UN menjadi dasar penerimaan siswa baru, baik di jenjang sekolah menengah maupun ke jenjang perguruan tinggi. Menurut saya, kembalikan juga ke wewenang satuan pendidikan yang bersangkutan dalam merekrut siswa baru.

Justru, dengan tidak adanya instrumen yang seragam, saatnya sekolah atau perguruan tinggi menunjukkan jati diri, karakter dan kualitasnya sebagai penyelenggaran pendidikan yang diakui masyarakat. Setiap sekolah akan membuat sistem, prosedur dan kriteria penerimaan siswa baru sendiri-sendiri. Tentu saja, pemerintah melalui dinas pendidikan setempat harus melakukan pengawasan dan pengendalian mutu, terutama pada penentuan kuota, penjadwalan dan transparansi hasil seleksinya.

Sedangkan untuk kepentingan pemerataan mutu pendidikan, sebaiknya diberlakukan sistem zona sekolah, yaitu mengharuskan orang tua murid atau peserta didik untuk mendaftarkan diri ke sekolah yang berdekatan dengan tempat tinggalnya. Basisnya bisa kelurahan/desa, kecamatan atau dibuat rayon-rayon. Melalui sistem zona ini, akan mengurangi penumpukan jumlah pendaftar ke sekolah-sekolah favorit atau unggulan di kota tersebut. Pasalnya, mereka harus mendaftar di sekolah terdekat atau di satu kelurahan/kecamatan/rayon dengan tempat tinggalnya.

Maka, setiap sekolah dimungkinkan akan menerima murid yang bervariasi atau hiterogen, artinya tidak hanya yang cerdas-cerdas secara intelektual saja yang diterima, bahkan terdapat anak yang memiliki kebutuhan khusus (baca: pendidikan inklusif). Dengan demikian, akan terjadi kompetisi yang sehat antar sekolah. Setiap sekolah menyadari, bahwa dengan input siswa yang tidak terlalu baik dari aspek akademisnya, mereka akan berlomba-lomba meningkatkan kualitas proses pembelajaran, sehingga dapat meluluskan output yang menggembirakan. Inilah sesungguhnya pendidikan, yang bukan hanya berorientasi pada hasil, tetapi pada kualitas proses.

Penulis: Imam Subkhan
Pengelola Lembaga Diklat Guru Fataha Education and Training Center Solo,
Pendiri dan Pengelola Akademi Orangtua Indonesia-Surakarta,
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNS, dan
Sekretaris Perhumas Surakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun