Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jokowi: SBY Salah Mengelola Indonesia

14 Januari 2019   15:00 Diperbarui: 14 Januari 2019   15:06 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Indonesia ini negara besar, sumber daya alamnya melimpah. Tetapi kenapa semuanya masih impor. Coba kita lihat, apa yang tidak diimpor? Artinya ada yang salah dengan pengelolaan di negeri ini," urai Joko Widodo, di Muktamar PKB di Surabaya, Minggu malam 31 Agustus 2014.

"Kalau boleh saya katakan, menteri yang mengurusi soal ini, harus paham menejemen lapangan yang memadai. Karena ini soal pengetahuan di lapangan, bukan manajer kebijakan saja, Menteri Pertanian nanti harus bijak. Dua atau tiga tahun harus bisa swasembada pangan. "Gampang saja, kalau tidak mencapai itu, menterinya harus dicopot dan diganti saja," ucapnya yang disambut tepuk tangan hadirin peserta muktamar.

Sumber di sini

*****

Seandainya dahulu Jokowi tahu bahwa dunia internet atau digital itu kejamnya melebihi kejamnya Ibu Tiri maka dirinya akan membatasi pernyataan yang provokatif dan tendensius seperti diatas karena jejak-jejak digital sangat mematikan. 

Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan ringkas; Era SBY ada miss-management, terutama tentang sektor pangan. Kedua SBY gagal mendapatkan menteri yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai untuk siu-isu terkait tingginya anka importasi yakni Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan.

Mimik dan eksrepsi Jokowi saat menyampaikan pernyataan tersebut kuat nuansa pongah dan over confidence. Terlihat Jokowi meyakini betul bahwa mengurus Indonesia ini simpel dan tidak berbelit-belit, yang penting "niat apa ndak!". Begitu Jokowi selalu mengajukan premis.

Waktu bergulir dan tahun berlalu. Rakyat yang menjadi saksi sekaligus marah besar dengan Jokowi. Di Demak bahkan petani cabai membuat biji-biji cabai yang habis dipanen ke jalan raya sebagai bentuk protes atas turunnya harga cabai pasca pemerintah mengimpor cabai dari Phillipina. Akibatnya harga cabai menjadi 7 ribu per kilogram.

Heboh saat menjelang panen raya Mendag, Enggartiasto nekat mendatangkan berjuta-juta ton beras dan akhirnya "ribut" dengan Bulog adalah contoh dari sekian banyak kebijakan Jokowi yang bertolak belakang dengan sesumbarnya di depan Muktamirin PKB tahun 2014. Tahun dimana dirinya mulai menjabat sebagai Presiden Indonesia dan menganggap semua bisa diatas "Asal kita mau apa ndak?"

Jokowi adalah lancungnya sebuah sikap memandang enteng persoalan bangsa. Dia mungkin berfikir selama rajin masuk ke gorong-gorong kelamnya impor pangan yang dipenuhi praktek rente tersebut dengan membaca mantra "simsalabim" bisa langsung berubah menjadi baik. Presiden yang melakukan praktik simplifikasi yang bablas. Entah siapa yang menjadi "pembisik" Jokowi hingga nekat melakukan itu. Praktik bablas ini menimbulkan banyak efek-efek yang menjadikan rakyat sebagai korban. Setidaknya korban PHP.

Alih-alih membanggakan telah berhasilnya Jokowi menumpas habis mafia pangan, tapi kondisi gejolak harga dan keluh kesah petani mencerminkan klaim telah habisnya praktik rente oleh para mafioso pangan tersebut tidak sepenuhnya benar dan terbukti. Sekali lagi, klaim keberhasilkan Jokowi tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun