Publik lagi riuh dengan harga telor yang membumbung naik tinggi. Padahal keberhasilan rezim Jokowi saat momen Ramadhan dan Lebaran kemaren --katanya-- mampu menjaga harga komoditas termasuk telor dikisaran normal. Angka kenaikan yang biasanya dipicu oleh transaksi tinggi karena tingginya angka kebutuhan warga atas ketersediaan telor dipasaran. Entah untuk menu sahur-buka puasa atau membuat penganan kering, kue basah dan hidangan lebaran.
Harga telor dikisaran Rp. 35 ribu perkilo membuat rakyat frustasi. Telor dadar, ceplok telor, bakso (untuk resep membuat bakso) hingga beberapa produsen makanan yang mengandung telor di komposisinya bingung, menaikkan harga produk atau mengurangi margin?
Namun jika melihat angka populasi penduduk miskin yang kemaren dipajang oleh pemerintah menimbulkan antipati kepada rakyat yang mengeluh dan frustasi atas kenaikan harga telor. Mosok penduduk bukan miskin (yang mengkonsumsi Pertamax) masih cerewet dengan kasus itu? Rakyat kaya itu mengkonsumsi daging merah dan ayam kampung dong. Steak, barbeque, telor ikan paus dan ikan salmon. Kan mestinya begitu?
Mari kita lihat definisi orang tajir melintir, the have, orkay (orang kaya) dan sejenisnya agar pemahaman kita bisa bening, sebening kaca yang bisa membuat kita memiliki perspektif yang objektif, fair dan tidak tendensius.
Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS Harmawanti Marhaeni mengatakan garis kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin.
"Iya, jadi garis kemiskinan di Maret 2018 itu menurut pendapatannya Rp 401.220 per kapita per bulan,"Â kata dia saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Senin (16/7/2018). Jika angka pendapatan per jiwa tersebut dibagi jumlah hari perbulan maka pendapatan per hari Rp. 13,374 adalah pendapatan orang miskin, jika lebih seribu saja dari pendapatan tersebut, alhamdulillah, sudah termasuk orang tajir melintir, orkay dan seterusnya.
Sebagai orang kaya memang layak dan patut rasanya untuk tidak mempermasalahkan kenaikan harga Pertamax kemaren karena sudah tidak pantas membeli barang yang bersubsidi seperti premium ber-oktan 88. Soal harga telor yang harganya fantastis pun juga sebaiknya jangan dipermasalahkan, orang kaya gitu loch!
Indonesia yang kaya raya, mampu membeli kembali Freeport yang memiliki kandungan mineral trilyunan rupiah sangat tidak layak untuk diributkan oleh harga telor dan harga Pertamax yang melesat tinggi. Mentalitas itu penting! Memiliki kebanggaan sebagai orang kaya dan hidup di negeri yang juga kaya oleh kandungan sumber alam melimpah. Sebaiknya BPS juga mempertimbangkan dengan mendalam untuk kembali mengevaluasi pendapatan per kapita sebagai tolok ukur kaya atau tidaknya seseorang yang hidup di Indonesia. Mungkin Rp. 100.00 per kapita perbulan cukup mewakili.
Salam Ujung Jari!