Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melajang Saja Kok Sombong!

9 Juli 2018   14:08 Diperbarui: 9 Juli 2018   14:24 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jujur, judul artikel ini memang sengaja penulis berikan kesan agitasi  seperti beberapa artikel yang pernah dipublikasi oleh Kompasiana dan  ada satu artikel yang ditulis seorang Kompasianer yang bangga dan  mungkin sekali dilatabelakangi kejumawaan tersendiri saat memilih untuk  tetap melajang.

Mengapa melajang? Demikian kerap timbul pertanyaan  dari publik kepada mereka yang dipenghujung usia emas masih sendirian.  Apa itu usia emas? Usia yang menurut beberapa pendapat medis sebagai  batasan umur untuk memutuskan meneruskan keturunan atau beranak pinak.  Perhari ini kearifan umum dari Indonesia meletakkan ikatan pernikahan  sebagai media untuk meneruskan keturunan, mengembangbiakan ranji  keluarga dan seterusnya. Meskipun ada kemudian sebagian kecil dari kita  memutuskan untuk menikah agar bisa bersama-sama dalam suka dan duka  sampai nyawa memisahkan kita. Demikian pernah diucapkan.

Namun  jika kemudian memutuskan untuk tidak menikah karena gagal untuk berbagi  nilai dan berbagi rasa alias sulitnya bagi seorang atau individu untuk  berbagi alias egois dengan memposisikan dirinya bak beberapa tokoh dunia  atau bahkan pribadi yang disebut sebagai Anak Tuhan sebagai argumentasi  hidup melajang membuat kita perlu mempertanyakan, ciyus loe?

Mengapa? Pertama,  menurut penulis mereka yang pongah dan jumawa ini gagal sejarah karena  --misalnya-- Yesus atau Budha adalah pribadi yang dalam beberapa  pendapat ahli adalah mereka yang pernah merasakan lezatnya pernikahan.  Entah berbagi cinta atau bersenggama. Mengapa senggama perlu menikah?  Karena dalam beberapa teks suci, baik Bible atau Al Quran meletakkan perzinahan sebagai dosa yang paling purba. 

Kedua,  oleh karena itu jika ada mereka yang melajang tapi bisa berbagi kasih  (sharing dan caring) dengan pasangannya bahkan bisa orgasme paska beradu  genital maka menurut penulis mereka adalah contoh kasat mata para muna  alias penganut mazhab hipokrisianis, sebuah label yang penulis buatkan untuk mereka. Melajang tetapi bisa nge-seks, bisa berintim ria sambil minum black coffee di warung kopi atau dugem hingga subuh bersama lawan jenis.

Atau mereka yang memilih hidup flat alias datar tanpa pernak-pernik dinamika berumah tangga dengan sangkaan  pernikahan hanya menghasilkan nilai-nilai negatif seperti "akhirnya  bercerai", tergantung dengan pasangan, terperangkap pernikahan dan  seterusnya.

Padahal ketika mereka memilih untuk tidak menikah  alias melajang akan tetap menimbulkan efek-efek sosial seperti hidup  penuh prasangka saat ada kerabat atau bahkan teman akrab masih sempat  bertanya kapan menikah. Padahal hanya sebuah pertanyaan ringan, dunia  yang indah ini kenapa dibiarkan untuk berlalu begitu saja tanpa berusaha  --setidaknya-- tertawa lepas berdua, syukur-syukur bersama dengan  putra-putri yang hadir dipernikahan itu.

Makanya penulis berani  mengatakan mereka yang melajang tersebut lebih di picu oleh sifat egois  yang memang memproduksi rasa menang sendiri dan tidak akan pernah legowo untuk berbagi. Mereka adalah individu selfish dan skeptis. Jangan  mengambil contoh Rabiah Al Adawiyyah yang dalam biografinya menyatakan  takut menikah karena tidak bisa adil dalam membagi kasih antara suami,  anak dan Al Khalik. Nah? Memilih sebuah sejarah untuk  pembenaran malahan menunjukkan semakin jauh perbedaan antara si Lajang  dengan tokoh sufi besar dunia ini.

Jadi melajang saja, jangan  ditambahi dengan kesombongan karena hasilnya malah rugi dua kali, sudah  tidak menikmati dunia lebih lengkap dan terperangkap dalam kibir pula.

Salam Ujung Jari!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun