Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saat Kehancuran Ka'bah di Depan Mata

18 April 2018   09:45 Diperbarui: 18 April 2018   10:06 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"PBB merupakan rumah besarnya umat Islam, jadi terbuka bagi siapa saja  yang beragama Islam. Kecuali, kelompok penista agama dan PKI tidak kita  terima," kata Ketua Umum PBBB Yusril Ihza Mahendra menyambut baik bergabungnya politisi PPP khittah dan PAN ke partainya.

*****

Pernyataan Yusril tersebut seakan memberikan sebuah sinyal yang jelas bahwa partai-partai yang kemaren mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada Jakarta adalah partai-partai pro penista agama. Kalau boleh-lah penulis menyitir, maka pernyataan Amien Rais menjadi terkonfirmasi akan adanya partai syaithan dan partai Allah. Yang anti syaithan tidak akan mungkin mencela agama.

Seperti pembaca ketahui, sejumlah partai-partai yang konon katanya terafiliasi dengan Islam seperti PPP, PKB, PAN dengan ormas Muhammadiyahnya dan tanpa mempedulikan suara konstituen mereka yang gamblang menunjukkan ketidaksetujuan saat partai yang mereka ikuti ternyata berbeda 180 derajat orientasi politiknya.

Dari sekian partai-partai agama tersebut, ada satu partai sisa orde baru yang terbentuk pada tahun 1973 hasil fusi dari beberapa partai-partai islam tersebut masih getol menggunakan lambang Ka'bah sebagai logo partainya. Dengan ber-asakan Islam partai ini mampu memberikan warna "perlawanan" umat terhadap prilaku tiranian dan upaya kroni-kroni orde baru untuk menjalankan praktik oligarki yang saat ini tanpa sadar Jokowi juga tengah memerankan prilaku yang kurang lebih sama.

Hingga kemudian pada tahun 1984, partai ini di paksa oleh rezim saat itu menanggalkan asas Islam dan menggunakan Pancasila sebagai asas partai dan juga kemudian diharuskan mengganti lambang partai. Agar tidak jauh "melenceng" dari filosofi partai kemudian memilih salah satu dari sekian lambang atau simbol dari Pancasila yang ada yakni "Bintang". Lambang ini memang representasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditafsirkan masih sesuai dengan definisi tauhid dalam Islam.

Momen reformasi yang meluluhlantakkan praktik oligarki orde baru membuat partai ini mendapatkan juga momentum untuk kembali menggunakan atribut-atribut Islam, lambang Ka'bah kembali bertengger di partai ini. Sayangnya saja pada tahun 1998 tersebut memproduksi beberapa partai baru yang juga menggunakan idiom atau filosofi ke-islaman seperti PKS, PKB, PAN yang malu-malu dan PBB. Dan entah kenapa, PPP seperti mengalami turbulensi. Momen reformasi yang seharusnya membuat partai ini solid malahan menciptakan individu-individu yang pragmatis.

Kasus Suryadharma Ali, Lukman Hakim Saifudin yang tidak "islami", perseteruan yang di produksi oleh rezim penguasa hari antara dua kubu yang "greedy" dan terakhir adalah saat Romahurmuziy (Rommy) dengan sadar menyeberangi akal sehat dan filosofi partai dengan bergabung untuk mendukung Ahok pada pilkada lalu di momen umat Islam meradang atas pernyataan yang menghina di Kepulauan Seribu lalu.

Sikap dan pilihan Rommy yang lebih kuat nuansa pragmatis ketimbang argumentasi yang penuh nalar membuat jenggah konstituen atau akar rumput. Terlihat sekali kegerahan tersebut. Paling tidak beberapa nama yang biasanya cukup aktif bersikap terlihat lebih menyukai menyembunyikan sikap penentangannya ketimbang mempublikasikan perseteruan dengan pilihan Rommy yang tidak memiliki landasan syariah tersebut. Romi mempertontonkan prilaku duniawi ketimbang berusaha memegang teguh gambar Ka'bah yang jadi lambang partai.

Alhasil, kontestasi yang akan berlangsung kembali di 2019 nanti PPP ditinggal beberapa petinggi partai yang diyakini akan membuat partai ini limbung dan kemungkinan akan sulit mendapatkan parliamentary threshold (ambang batas parlemen). Analisa yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA meskipun kemudian disanggah oleh Romy. Ia menilai masih ada massa mengambang (swing voter) yang masih belum menentukan pilihan. Swing voter tersebut, menurut Romy, yang akan menentukan hasil sebenarnya.

Romy berusaha mengingkari fakta akar rumput PPP sudah mencabut diri mereka dari partai dengan meninggalkan seruan untuk memilih Ahok. Kekalahan total petahana tersebut tidak lepas dari membangkangnya simpatisan PPP dari seruan yang dikeluarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun