Jared Mason Diamond (lahir 10 September 1937) adalah ilmuwan dan pengarang Amerika Serikat yang dikenal karena menulis buku The Third Chimpanzee (1991), Guns, Germs, and Steel (1997), Collapse (2005) dan The World Until Yesterday (2012). Ia adalah Profesor Geografi di Universitas California, Los Angeles.[1][2]
Pria yang dilahirkan di Boston ini adalah peraih hadiah Pulitzer pada tahun 1997, sebuah penghargaan yang dianggap tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat. Penerima penghargaan ini dipilih oleh sebuah badan independen yang secara resmi diatur oleh Columbia University Graduate School of Journalism (Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia) di Amerika Serikat. Penghargaan ini diciptakan oleh Joseph Pulitzer, seorang jurnalis dan penerbit surat kabar Hungaria-Amerika pada akhir abad ke-19.
Jared dalam sebuah kesempatan dia mengatakan,"Bagaimana cara mengerti apa yang membuat peradaban lebih rapuh dari peradaban lainnya? Masalah ini jelas sekali sangat relevan dengan situasi kita sekarang, sebab bahkan sekarang ada beberapa peradaban yang sudah runtuh, seperti Somalia dan Rwanda dan bekas Yugoslavia. Ada juga peradaban yang mungkin dekat keruntuhan, seperti Nepal, Indonesia dan Kolombia.
*****
Dan sekarang, entah mengapa Indonesia geger dan sampai-sampai menyurung dua ormas terbesar untuk ikut andil "menenangkan" umatnya yang dirasa bisa terprovokasi oleh sinyalemen dari seorang ketua partai oposisi. Kedua ormas tersebut sedemikian rupa di liput oleh mass media partisan untuk mampu memberikan tausiah tentang berkah langit yang turun ke bumi Indonesia.
"Jadi di luar negeri itu ada scenario writing, yang nulis itu ahli-ahli intelijen strategis. Dibuka dong, baca dong, sesudah perang kemerdekaan mereka tetap Indonesia mau dipecah dari dulu selalu. Nah ini sekarang masih ada tulisan seperti itu bahwa Indonesia ini oleh ahli masih dianggap tahun 2030 sudah tidak ada lagi," ujar Prabowo di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Entah sebuah observasi, analisa dan melakukan kajian, pernyataan Jared dan kutipan Prabowo dari sebuah novel yang berbalut pendekatan intelijen, tampaknya Indonesia memang dianggap telah mulai masuk ke dalam situasi yang memungkinkan negara ini ambruk, bubar dan kolaps dalam banyak arti. Jika Jared lebih menitik-beratkan kepada peradaban dari sebuah bangsa atau Prabowo dan beberapa praktisi atau pengamat yang melihat Indonesia telah berada di tubir jurang. Informasi yang entah sesat, disesatkan atau dianggab belum sesat tentang utang negara yang ternyata tidak sekedar 4000 trilyun melainkan 7000 trilyun yang mayoritas berasal dari sebuah negara yang beranjak menjadi raksasa dunia. Atau geliat dinamika moralitas yang menjangkiti publik. Koruptor yang tersenyum melambaikan tangan ke awak media, petinggi partai dituduh korupsi lalu dibela habis-habisan tanpa memandang betapa sakit hatinya rakyat adalah dari sekian faktor telah nyaris terjungkal peradaban sebuah bangsa.
Pemimpin yang ingkar janji dan dimaklumi oleh para pengusungnya. Janji-janji tentang Indonesia yang lebih berpengharapan yang kemudian hanyut ditelan oleh sekian banyak pencitraan.
"Mungkin gini yang dimaksud Pak Prabowo adalah penguasaan sektor strategis, jadi sektor strategis kita itu kan lebih dari 50% katanya dikuasai oleh asing. Kalau sektor strategis itu dikuasai oleh asing ditambah ketergantungan kita dalam pemenuhan kebutuhan pokok sangat tergantung dari asing, maka sebenarnya keberadaan dari kedaulatan ekonomi itu sudah tidak ada. Nah itu yang dimaksud. Jadi bukan Indonesia, kalau Indonesianya tetap harus tetap ada," kata Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif di Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Kedua ketua ormas besar tersebut dianggap mampu memberikan pendekatan spiritualitas yang lebih efektif ketimbang pendekatan melalui angka-angka yang --kejamnya-- malahan seakan membenarkan anggapan Jared Diamond dan Prabowo. Angka-angka yang tendensinya menunjukkan Indonesia memang nyaris bubar, hutang bertumpuk, pertumbuhan stagnan, hilangnya kepercayaan publik kepada kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara, perampokan secara massif kekayaan yang ada melalui oligarki yang sistemik atau oleh para kroninya yang tengah berkuasa.
Hanya tinggal spiritualitas yang sepertinya mampu menenangkan publik, atau pendekatan spiritual-lah yang dianggap lebih mumpuni karena fakta adanya dikotomi rakyat nasionalis-oportunis yang tengah berkuasa tengah berhadap-hadapan dengan kelompok besar religius-nasionalis. Tidak perlu disangkal adanya dikotomi ini dalam banyak ragam tengah bertarung di eskalasi tahun politik ini. Pertarungan bubar atau tidaknya negara ini memang sebuah realita yang kemudian di aksentuasi oleh pernyataan provokatif dari Prabowo yang juga sebenarnya bukan sebuah inisiasi murni dari Ketua Umum Gerindra tersebut.
Beberapa pihak luar yang melihat Indonesia dalam perspektif ke depan memang sexy untuk dihancurleburkan. Jenderal Gatot Nurmantyo bahkan dengan gamblang menjelaskan apa itu yang disebut perang asimetris dan proxy war yang membuat Indonesia menjadi sebuah obyek bancakan yang mengenyangkan. Ribuan TKA berduyun-duyun datang ke Indonesia dan bahkan di permudah pula dengan adanya kebijakan bebas visa dan permintaan dari rezim yang berkuasa untuk menghapus keharusan TKA tersebut bisa berbahasa Indonesia semakin terang benderang Indonesia tengah hanyut menuju kemana.
Indonesia bubar bukan sebuah ancaman atau angan-angan. Indikator atau kita perhalus pernyataan yang mengagetkan tersebut dengan menyebutkan adanya beberapa sinyalemen tentang peluang itu seharusnya membuat kita segera membuat sikap. Pendekatan yang paling rasional adalah menemukan sumber pencetusnya. Mencari akar masalah yang dapat meng-eliminasi potensi ambruk, bubar atau kolapsnya bangsa atau negara kita ini.
Caranya? Setidaknya rakyat memiliki pengaruh paling esensial, substansial dan krusial; yakni memilih penguasa atau pemimpin yang menjauhkan kita dari kehancuran atau ambruk tidak berdaulatnya bangsa dan negara kita. Jebakan-jebakan sekelompok para halusinasi yang masih menyebutkan pemilu untuk memilih pemimpin (baca: bukan legislator) adalah haram sebaiknya kita hindari.
Mengutip pernyataan Thayeb Erdogan bahwa “Jika orang baik tidak terjun ke politik maka para penjahatlah yang akan mengisinya”.Moral dari pernyataan presiden Turki ini adalah umat harus aktif terlibat dan melibatkan diri ke dalam kancah paling krusial, yakni terlibat secara langsung memilih pemimpinnya. Mendengar petuah ulama yang jauh dari sumbu ke kuasaan adalah cara yang paling sedikit mudharatnya.
Salam Ujung Jari!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI