Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyikapi Penganiayaan Pemuka Agama di Tahun Politik

12 Februari 2018   08:29 Diperbarui: 12 Februari 2018   08:38 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam kurun waktu beberapa minggu saja Indonesia telah dibuat heboh dengan beberapa kasus penganiayaan kepada para pemuka agama. Bahkan salah satu dari pemuka agama tersebut tewas karena parahnya cidera yang ditimbulkan. Kasus terakhir yang akhirnya menjadi titik kulminasi perhatian publik adalah serangan brutal dari seorang pria berasal dari Banyuwangi, Suliyono. Dan seperti biasa jika kasus penyerangan tersebut yang menjadi korban adalah dari pemuka non islam mass media cenderung provokatif dengan selalu mengkaitkan dengan pondok pesantren atau ormas-ormas islam tertentu. Mass media tidak berfikir lebih jauh provokasi seperti itu malahan akan memperpanjang mata rantai kekerasan antar agama.

Penulis tidak berkeinginan dan bermaksud untuk menyatakan Suliyono adalah representasi dari umat islam atas beberapa insiden-insiden sebelumnya karena di dalam islam konteks menyerang --apalagi-- rumah peribadatan berikut para pemukanya harus melalui serangkaian pertimbangan yang teramat matang dan didalam situasi atau konteks peperangan terbuka.

Peran media massa yang gamblang memperlihatkan perbedaan mensikapi beberapa kasus penganiayaan tersebut malahan semakin menimbulkan antipati beberapa pihak yang sebelumnya memang telah berpandangan betapa media massa telah gagal menempatkan dirinya secara fair dan obyektif.

Apalagi beberapa pihak yang selama ini berlaku oportunis seperti memiliki peluang utuk menunggangi kasus terakhir yang menyebabkan luka cukup parahnya seorang pastur di Sleman untuk kembali bisa menebarkan pemahaman liberalnya. Seorang ustadz yang bahkan kehilangan nyawa tidak berhasil memantik simpati seorang Syafi Maarif. Apakah Kyai Umar Bashri dan Ustadz Prawoto sedemikian tidak berharga di mata mantan ketua umum Muhammadiyah tersebut?

Bagi islam, kerukunan antar umat beragama adalah sebuah keniscayaan karena landasan yang cukup dimiliki oleh penganut agama kedua terbesar sedunia tersebut," Bagiku agamaku dan bagimu agamamu" merupakan sinyalemen yang lugas bagaimana sebaiknya kita berinteraksi.

Syafii Ma'arif tidak mewakili islam secara keseluruhan. Dan begitu juga Suliyono.

Umat Islam sekali lagi tetap menjadi titik sentral dalam pusaran politik di Indonesia. Kasus-kasus yang berpotensi menabrakan perasaan bela agama antar umat sepertinya menjadi pintu masuk anasir-anasir yang jengah melihat Indonesia berpeluang menjadi negeri yang aman makmur. Spekulasi ini bukan semata tebak-tebakan saja. Mata rantai yang mengikuti kasus ini sedemikian intens dan semakin memperlihatkan rupa aslinya.

Islam semakin terlihat menjadi musuh nomor wahid. Persis seperti uraian Samuel Hutington tentang musuh dari peradaban (baca: Barat) adalah Islam. Tentu saja Islam dalam banyak bentuk, misalnya ekonomi syariah yang meluluhlantakan ekonomi konvensional, perdagangan syariah dan yang terakhir dan yang paling keras perlawanannya adalah cara berfikir Barat (baca: liberalisme, kapitalisme, sekularisme, pluralisme) dengan anti tesisnya, yakni Islam.

Rezim yang saat ini berkuasa meskipun masih malu-malu mengakui semakin terlihat belangnya. Liberalisasi dalam segala faktor semakin menggeliat dan yang menjadi korban tentu saja publik yang memang mayoritas muslim. Belum lagi liberalisme busuk yang dijajakan oleh sejumlah pegiat yang kentara sekali dipelihara. Sebut saja Ade Armando yang berhasil membuat sejumlah pihak mulai gelisah dan hanya perlu menunggu komando dari para pemuka agama untuk menyebutkan status dosen UI di dalam kasus penghinaan yang tidak terperi.

Suliyono dan beberapa orang gila lainnya bisa jadi adalah korban dari peperangan pemikiran antara islam dengan Barat. Bisa jadi Suliyono termakan hasutan dari pihak-pihak yang kuat dibekingi oleh kepentingan tertentu dan kemudian berhasil memantik sub sadar pria ini untuk kemudian menjadi "waras" sedemikian rupa. Atau para orang gila yang menganiaya ustadz di Jawa Barat kemaren. Mereka dijejali oleh informasi yang secara instant membuat penilaian bahwa para asatidz tersebut adalah musuh peradaban Indonesia.

Indonesia hari ini adalah Indonesia yang jumud dengan dinamika sehingga membaca sebuah pola hanya berdasarkan rekaman informasi yang diproduksi oleh media massa yang galau dan was-was dengan produknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun