Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Berudu atau Kecebong, makhluk hidup yang sedang menuju transformasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

FPI, Gusdurian, dan NU Diantara Nahdliyin

11 Desember 2017   09:17 Diperbarui: 11 Desember 2017   11:29 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya agak ngeri-ngeri sedap menuliskan artikel ini karena penulis bukan Gusdurian pun bukan juga Nahdliyin. Tapi karena Kompasiana secara khusus dan Indonesia secara umum kerap kali sesumbar dan pongah menuliskan bahwa demokrasi adalah ketika hak asasi setiap individu tidak berkurang sedikitpun untuk menyuarakan pendapatnya. Maka, penulis memilih tetap untuk menuliskannya.

Gusdurian adalah sebutan bagi mereka yang menyebutkan, menyatakan dan mempertunjukan segenap prilaku dengan senantiasa mengatakannya sebagai manifestasi dari Gusdur. Pembaca tentu saja mahfum Gusdur adalah tokoh kontroversial yang bahkan NU sebagai rumah kecilnya juga merasa jengah dengan aktifitas cucu pendiri NU ini semasa hidupnya.

Sementara Nahdliyin adalah sebutan bagi para pengikut atau mereka yang menisbahkan amaliyah dan fikriyahnya kepada ormas terbesar yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dahulu. Meskipun kemudian akhir-akhir ini ada polarisasi internal dari ormas ini dalam bentuk NUGL atau NU Garis Lurus yang di pelopori oleh para kyai muda seperti KH. Luthfi Bashori, Ustadz Idrus Romli, Buya Yahya dan beberapa nama lain yang merasa perlu memberikan aksentuasi kepada persepsi publik adanya embrio atau oknum-oknum yang mengatasnamakan NU tapi sejatinya tidak merepresentasikan NU itu sendiri. 

Bahkan seorang Habib Rizieq Shihab, seorang alawi yang mendirikan FPI, sebuah ormas yang kian membesar dan massif pergerakannya merekrut simpatisan dengan lugas mengatakan dirinya seorang nahdliyin. Ormas yang masing-masing kerap kali mempertontonkan ketidakcocokan pandangan dalam beberapa isu yang mengemuka beberapa tahun terakhir.

Perseteruan antara Habib Rizieq dengan Gusdur dahulu dan kemudian dengan SAS (Said Agil Siraj) beberapa waktu lalu mempertontonkan ke publik bahwa Gusdur dan Gusdurian tidak identik memang dengan NU akan tetapi bertemu dalam irisan kepentingan di nilai yang berlaku sebagai nahdliyin. FPI tidak identik dengan NU atau mungkin sebaliknya, NU sama sekali tidak identik dengan FPI meskipun mereka sama-sama memproklamirkan dirinya adalah tempat para nahdliyin berkumpul.

Hal ini yang menjadi tontonan yang menarik. Beberapa kejadian Gus Sholah meskipun samar kerap mengatakan prilaku SAS tidak mencerminkan nilai-nilai yang diusung oleh kakeknya dahulu. Begitu juga saat HRS (Habib Rizieq Shihab) saat beberapa kejadian yang di spin sedemikian rupa oleh media buzzer sebagai aksi yang tidak berangkat dari nilai-nilai yang diusung oleh para pendiri NU.

Apalagi beberapa cindhil-cindhil yang mewarisi status feodalisme seperti sebutan Gus bagi anak-anak para kyai sepuh dahulu ternyata malahan menunjukan akhlak atau nilai yang mereka sandang ternyata sama sekali tidak representatif dengan nilai-nilai yang orang tua mereka dahulu miliki. Seperti Guntur Romli yang menyebutkan dirinya Gus Romli karena membawa nama besar KH Achmad Zaini Romli, ulama terkenal di Madura atau Gus Yaqut yang membawa nama besar KH Cholil Bisri. Atau seorang tokoh JIL yang nyeleneh, Ulil Absar Abdala yang juga menantu dari kyai yang hobi berpuisi, KH. Mustafa Bisri.

Alhasil sebenarnya publik bisa dengan cepat membedakan antara penganut Gusdurian dan Nahdliyin. Kasus heboh seorang ustadz terkenal seperti Al Mukarrom Al Ustadz Abu Janda Boliwudi adalah contoh nyata bagaimana warganet atau publik bisa dengan cepat mengkonfirmasi posisi selebritas medsos tersebut adalah seorang Gusdurian, meskipun kemudian kerap menyebutkan dirinya seorang NU untuk menyatakan ke-nahdliyin-annya. Atau Prof. Mahfud MD adalah seorang nahdliyin tulen meskipun tidak pernah aktif terlibat di NU, semisal Banser, NU, IPNU atau PMII.

Jadi bertanya pada akhirnya tentang kasus penolakan mubaligh muda yang sedang naik daun di pulau Bali, Ustadz Abdul Somad yang menyebutkan dirinya seorang nahdliyin oleh tokoh NU Bali. Mosok nahdliyin di tolak NU? Bingung? Jangan bingung! Baca lagi urut dari atas ke bawah.

Salam Ujung Jari!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun