Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Berudu atau Kecebong, makhluk hidup yang sedang menuju transformasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies Baswedan Membuat Khawatir Kelompok Pragmatis di Lingkaran Rezim

20 Oktober 2017   13:47 Diperbarui: 21 Oktober 2017   05:37 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"There are three important observations from this excerpt (Anies's speech);

  1. Even after nearly seventy years of independence, colonial legacies matter.   Anies is able to compose a powerful political message that invokes the   socioeconomic effects of colonialism. Anies (or his speechwriters)   believe that this is message that still resonates. In my view, he is   right.
  2. This is a presidential speech, not a gubernatorial one.   The looks exactly like the speech of a candidate preparing himself for  a  2019 presidential run, placing Jakarta at the centre of national   politics and staking a claim for himself as a national politician.   Elsewhere in the speech he invokes folksy sayings from ethnic groups   around the archipelago (Acehnese, Batak, Banjar, Madurese, Minahasa,   Minang), figuratively pushing a pin in each of Indonesia's regions and   saying "I am speaking to you too."
  3. Every Indonesian who hears this speech will understand that it is targeting ethnic Chinese Indonesians.  Specifically, it is associating Chinese Indonesians with the long  colonial period and its legacies on everyday politics. Pribumi is  a  term that connotes indigeneity, but specifically, it identifies those   citizens of Indonesia who are viewed to be descended from foreign   populations (Chinese, Arabs, Indians, Europeans, and others). Anies   appears to have conveniently forgot that he himself is of Hadrami  descent.  Alternatively, he might not have forgotten at all, but rather  he knows  that Indonesia's wealthy Arab Indonesian elite faces none of  the  discrimination that Chinese Indonesians face in places like  Jakarta.

Di kutip dari pendapat Tom Pepinsky, Profesor untuk Program Asia Tenggara yang mempelajari politik komparatif dan ekonomi politik, dengan fokus pada ekonomi pasar negara berkembang di Asia Tenggara.

*****

Pengamatan  dari seorang profesor yang khusus mempelajari konstelasi politik di  kawasan Asia Tenggara. Terutama Indonesia, sebuah negara dengan populasi  muslim terbesar yang mampu membuktikan ke-rahmatan lil alamin-nya meskipun seorang double minority seperti Ahok, sebagai warga negara non pribumi, keturunan tionghwa dan  non muslim yang membuat gaduh dengan menghina keyakinan mayoritas  ternyata tidak menimbulkan aksi-aksi vandalisme dan barbarian.  Malahan dalam beberapa kali dihadiri oleh massa dalam jumlah yang  teramat besar yang kemudian diabaikan oleh mass media untuk diliput  sebagai kewajiban mereka mendistribusikan informasi yang menjadi hak  publik.

Anies Baswedan, seorang doktor di bidang ilmu politik  mengucapkan diksi yang sensitif ternyata berhasil ditangkap substansi  dan kedalaman konten yang menjadi obyek kemarahan para pendukung Ahok  yang susah dipungkiri didominasi oleh sesama etnis yang dimiliki oleh  petahana tersebut. 

Para warga non pribumi tersebut sontak  mengumbar kemarahan mereka melalui media sosial yang menyebabkan topik  dari pidato Anies kemudian dilaporkan oleh organisasi sayap dari PDI  Perjuangan selaku partai pengusung Ahok yang terjungkal pada kontestasi  kemaren. Dan juga menjadi fakta para pendukung Ahok yang belum  sepenuhnya legowo menimbun kayu bakar hingga menjulang angkasa.

Penulis  tidak begitu tertarik dengan reaksi prematur dari sekelompok politisi  ayam sayur tersebut. Apalagi seorang tokoh seperti Mahfud MD mengatakan  konten pidato Anies tidak bisa dipermasalahkan secara hukum.

"Itu  (istilah pribumi) secara politik mungkin kurang tepat, tapi kalau  mau  dibawa ke hukum enggak ada. Tapi ini kan soal politik jadi sensitif,   kalau dari sudut hukum tidak ada masalah,"kata Mahfud menambahkan.

Betul.  Anies memang jelas menyasar konten tersebut dalam wilayah politik  dimana hukum sangat menjadi begitu liar dan plastis. Semua kita mahfum  bahwa warga peranakan --jika yang disasar Anies adalah ras keturunan  tionghwa--adalah pemain besar di nyaris semua faktor-faktor pembangunan.  Entah dari kekuataan mereka menguasai sektor riil. Semua retail,  manufaktur, perbankan, plantation hingga kisruh reklamasi yang ngotot  diteruskan oleh pemerintahan Jokowi yang tidak bisa menyuguhkan asas  kemanfaatan bagi warga Jakarta yang secara lugas kita sebutkan sebagai warga pribumi.

Ras atau etnis ini lah yang sekarang ternyata mengambil "butir nasi terakhir"  yang tertinggal yakni politik. Mereka meskipun di belakang layar tapi  aroma keterlibatan mereka sungguh mendebarkan. Jangankan saat pilpres yang memenangkan Jokowi bahkan seorang tersangka E-KTP yang tewas  bunuh diri adalah donatur untuk kemenangan Barack Obama. 

Apalagi sebuah hajat yang terjadi di Indonesia yang kelak  akan menjadi episentrum untuk kelangsungan bisnis mereka. Keadaan  mutualitis atnra penguasa dan pengusaha adalah sebuah potret pragmatisme  yang berkelindan diantara hiruk pikuk nyaris semua kontestasi yang ada.  Entah untuk skala daerah tingkat dua hingga nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun