Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Berudu atau Kecebong, makhluk hidup yang sedang menuju transformasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pertamina Rugi 12 Trilyun Disebabkan Kebijakan Satu Harga

4 Oktober 2017   09:51 Diperbarui: 4 Oktober 2017   10:10 2073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian  BUMN, Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, kerugian pertamina hingga 30  Juni 2017 sekitar Rp 12 triliun.

"Sampai dengan catatan 30 Juni,  dari BBM penugasan premium, solar 957 juta US$, jadi sekitar Rp 12  triliun," kata Edwin di Komisi VI DPR, Jakarta, Rabu (30/8/2017).

*****

Negara seperti Indonesia yang dikarunia demografi berupa sebaran pulau-pulau dari ujung Banda hingga Papua berikut ragam infrastruktur menyebabkan harga-harga termasuk komoditas menjadi begitu pragmatis. Maka tak heran ada disparitas harga, terutama harga BBM sebagai kebutuhan energi antara daerah satu dengan yang lainnya.

Entah dalam pertimbangan apa Jokowi merevisi Perpres 191 Tahun 2014 yang efektif mulai diberlakukan pada tahun 2017 yang sejumlah pengamat telah memprediksi akan membebani keuangan negara tersebut. Dan itu terbukti.

Hilangnya angka 12 trilyun dari pendapatan Pertamina sebagai  kompensasi diberlakukan satu harga BBM (oktan 88 dan solar) mulai dari  Aceh hingga Papua tersebut menjadi sebuah perdebatan yang semakin  menunjukkan pemerintahan rejim ini hendak berjalan kemana. Apalagi jika kemudian ternyata kebijakan tersebut dijegal oleh para spekulan-spekulan  penjarah yang bisa ditebak akan berkutat pada pihak-pihak yang selama  ini memang tengah bermanuver dibalik upaya membangun citra Jokowi.

Baru  digelar saja kebijakan tersebut telah mengakibatkan kerugian hingga  belasan trilyun memantik pertanyaan, mau apa sebenarnya Jokowi? Apalagi  jika melihat -jika dikalkulasi ratio pemberlakuan subsidi dengan jumlah  penerima subsidi tersebut- penyebaran kebijakan tersebut jika dibandingkan dengan dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah di semua  provinsi. 

Jika melihat proporsi antara besaran subsidi yang  dicabut dengan jumlah penduduk yang tersebar maka "tumpahan premium" ke  wilayah Timur semakin menunjukkan adanya kebocoran luar biasa jika  melihat populasi dan estimasi konsumsi rakyat di sana.

Di tengah  kelesuan ekonomi, turunnya daya beli masyarakat dan diimbuhi dengan  fakta semakin berlemaknya pemerintahan ini dengan tumpukan hutang untuk  proyek-proyek mercusuar dan simbolis seperti pembangunan infrastruktur  yang menurut ekonom senior, Kwik Kian Gie sebagai pembangunan yang tidak  mempertimbangkan cost benefit ratio-nya. Apalagi pembangunan  jalan Trans Papua yang memakan APBN karena dinilai oleh beberapa  investor tidak mempunyai peluang investasi di sana. Rentang jalan dengan  angka utilisasi yang rendah karena hanya ratusan mbil saja yang akan  lalu lalang disana berikut minimnya obyek-obyek bisnis.

Sungguh  pemerintahan Jokowi seperti tidak memiliki perencanaan bak Soeharto dulu  dengan GBHN-nya yang memiliki rentang per lima tahun untuk kemudian  dilakukan evaluasi secara proporsional oleh negara. Di jaman Orde Rapopo ini yang terpampang adalan hutang yang meroket dan ambruknya nilai rupiah berikut melemahnya daya beli masyarakat.

Angka  kerugian belasan trilyun tersebut bukan satu-satunya bukti betapa  membingungkannya pemerintahan yang berkuasa hari ini. Pencitran demi  pencitraan berikut kasus-kasus tebang pilih semakin membuat publik untuk  mempertimbangkan dengan kritis patut atau tidaknya Jokowi berupaya  melanggengkan kekuasaannya di periode berikutnya. Hasil survei yang  dilakukan oleh Median menunjukkan hal tersebut. Sebanyak 40.6% dari  responden (dengan metoda multistage random sampling dengan margin of error +/- 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95%) tidak menginginkan Jokowi  kembali menjabat presiden periode kedua. Rakyat tidak ingin nyemplung di lubang yang sama untuk kedua kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun