Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Post Defeated Syndrome, Sebuah Analisa Pasca Kalah Pilkada

25 April 2017   09:15 Diperbarui: 25 April 2017   18:00 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: twitter.com

Judul ini memang bombastis, sebagai upaya untuk menyadarkan beberapa gelintir masyarakat Jakarta yang mulai nyinyir menagih janji-janji Anies- Sandi saat berkampanye kemaren. Menagih janji harus karena bagian dari menolong mereka dari ancaman hari akhir. Berjanji dalam kaidah islam adalah hutang yang harus dibayar. Entah kalau agama yang lain.

Sindrom seperti judul diatas kerap kali hinggap di individu yang gagal memahami situasi dan kenyataan dan nyaris abai dengan fakta. Padahal jika mau sejenak saja meluangkan waktu untuk mengumpulkan fakta maka seharusnya para nyinyirer tersebut akan dengan intens untuk menagih janji-janji Ahok saat berkampanye dengan kambratnya yang melarikan diri dari tanggung jawab untuk ngeker-ngeker (istilah bahasa jawa untuk kegiatan mengais-ngais sesuatu) jabatan yang lebih tinggi. Silahkan browsing dan kemudian membuat tabulasi atau rekapitulasi dari janji-janji saat mereka berdua kampanye tahun 2012 lalu.

Prilaku gagal nalar dan gagal keadaan ini akan semakin diperparah oleh para nalarer (orang yang sok bernalar, katanya) dengan menggunakan istilah-istilah, seperti filsafat, ontologi, epistomologi, platnois dan seterusnya. Mereka hanya mewek-mewek dengan bumbu-bumbu term-term keilmuan. Tetap saja substansinya adalah mewekisme alias sebuah pemahaman untuk mewek-mewek menghadapi situasi tertentu.

Bahkan ada lagi yang mengatakan petahana yang dijungkalkan dengan keras oleh kekuatan riil dari demokrasi yang selama ini sering diplesetkan menjadi kekuatan dari parpol, tengah diharapkan oleh provinsi-provinsi dimana islam adalah kaum minoritas untuk berkenan kiranya menjadi gubernur. Misalnya provinsi Bali atau NTT. Sebuah artikel yang dimaksud juga sudah terpublikasi dengan sempurna dan mendapatkan respon dari para penderita sindrom ini. Bahkan petisi untuk menggalang hal yang mulia tersebut sudah mencapai angka puluhan juta di change.org. Petisi tersebut ditujukan kepada dua tokoh kaliber intercontinental, seperti Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri.

Namanya juga penderita sindrom pasca keok terjerembab, prilaku-prilaku responsif dari penderita memang seperti menimbulkan simpati yang mendalam. Membayangkan kemenangan mutlak yang katanya Megawati diawal kampanye putaran pertama bahwa Ahok akan menang mudah dengan persentasi diatas 51% namun apa lacur, takdir berpihak kepada pasangan lain. Maka sikap-sikap mellow, baper, mendayu-dayu dan langsung menagih janji si pemenang meskipun pelantikan baru terjadi di bulan Oktober mendatang.

Menurut hemat penulis, sikap-sikap arif dan tidak berusaha untuk memperparah ide-ide yang semrawut dari para penderita sindrom tersebut adalah pilihan yang paling bijak. Jika ada yang mempublikasi artikel seperti dari seorang kompasianer yang menyatakan adanya keinginan warga masyarakat dimana islam sebagai agama minoritas untuk merangkul petahana yang keok tersebut sebagai gubernur maka iyakan saja dan sampaikan yel-yel penuh semangat, "Kamu pasti bisa!".

Agar mendapatkan kesan serius, maka ada baiknya penulis membubuhkan pendekatan ilmiah untuk menjelaskan apa sih post defeated syndrome tersebut? Untuk itu silahkan di nikmati ulasan dari the winner untuk memahami apa dan bagaimana tentang sindrom tersebut. Sindrom ini memiliki lima gejala atau tahapan, antara lain.

  1. Anger, biasanya para sindromers akan memberikan reaksi berupa amarah. "Mengapa seorang Ahok biasa kalah? Pasti ada sesuatu nih!...islam radikalis telah merampok...bla bla bla..." dan seterusnya.
  2. Depresi, cenderung para sindromers wa bil khusus di Kompasiana akan menghilang sejenak dari eksistensi yang dahulu sangat intens tampil nyaris di setiap artikel. Komentar-komentar sarkastis itu mendadak lenyap.
  3. Harapan, dari dua gejala atau tahapan diatas yang terilhat "menakutkan' maka tahapan ketiga ini lebih bisa kita sikapi selaku the winner. Contoh yang paling faktual meskipun absurd adalah ide untuk membuat petisi di change.org agar jagoannya bisa memenangkan kontestasi ditempat yang lebih ramah lingkungan
  4. Penawaran, tahapan berikut ini semakin membantu para sindromers a.k.a the lossers ini kembali eksis dengan mencoba sebuah peruntungan, misalnya menjejaki diskusi dengan initial statement seperti berikut," Okelah kalian menang, toh kami juga bagian dari rakyat dari provinsi ini" 
  5. Keberterimaan, puncak dari tahapan sebuah sindrome pasca keok, tumbang, terjungkal dan terjerembab dengan memalukan adalah sebuah keberterimaan suatu saat nanti jika memasuki sebuah kontestasi berikutnya akan bisa lebih dewasa dan arif melihat segalanya. Memang sesuatu yang "sesuatu" bingitz jika diawal-awal mulanya semua lembaga survei merilis sinyalemen si petahana akan melenggang kangkung dan memenangkan pertandingan lalu kemudian terhempas dengan skema 42.05% melawan 57.95%.

Semoga damai kepada para pemilih Anies - Sandi dan damai bagi mereka yang ingin keluar dari warga DKI Jakarta pasca jagoannya keok. 

Salam Anti Anarki!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun