Mohon tunggu...
Imam Noorizky
Imam Noorizky Mohon Tunggu... Lainnya - tidak ada kak

coba aja dulu..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pungli dan Patologi Birokrasi di Indonesia

2 November 2022   14:02 Diperbarui: 2 November 2022   14:02 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Indonesia pungli merupakan salah satu peninggalan dari masa lampau, yang hingga saat ini dikenal oleh masyarakat luas dengan berbagai macam bentuk dan ragamnya. Pada masa lalu praktik-praktik yang mengarah pada korupsi seperti ini dianggap hal yang wajar, sebagaimana pernyataan Mochtar (Semma, 2008:197). Bisa dibilang terjadinya praktik-praktik korupsi yang ada di Indonesia asal muasalnya yaitu dari jaman kerajaan di Nusantara, ketika kekuasaan berpusat pada birokrasi patrimonial (Weber, 2002) yang tumbuh subur pada kekuasaan feodal.

Sebagian orang beranggapan pungli adalah budaya, tetapi jika di cermati lebih mendalam sangat jelas bahwa pungli itu bukanlah budaya, lebih tepatnya penyakit yang sampai saat ini masih melekat di tubuh birokrasi. Penyakit ini masuk ke dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Penyakit pungli berjalan lurus seolah menjadi bagian dari penyelenggaraan pelayanan publik. Pungli menjadi hal biasa dan dibiasakan di dalam masyarakat, karena adanya pandangan sebagai sesuatu yang wajar.

Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa penyakit pungli di negara kita membudaya secara berkelanjutan yang dilakukan oleh para birokrat. Sebagai contoh dalam proses administrasi yang berbelit-belit, waktu proses yang tidak pasti menjadi kesempatan para oknum birokrat melakukan pungutan liar (pungli). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, Pungli memenuhi beberapa karakteristik unsur korupsi. Dimana adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyelenggara negara termasuk ASN di dalamnya, serta adanya tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri ataupun orang lain.

Pungutan liar (pungli) ini telah merusak amanah dari reformasi birokrasi Indonesia. Tujuan dari reformasi birokrasi yaitu adanya pelayanan yang cepat, transparan, baik, dan profesional, namun menjadi ternodai oleh maraknya praktik pungli. Fenomena pungutan liar semakin menjadi-jadi yang mana dapat memberi catatan bahwa reformasi birokrasi di beberapa sektor pemerintahan masih sangat jauh dari harapan. Perbaikan sistem, penataan lembaga, penyusunan SOP, dan lain sebagainya cenderung sebagai formalitas saja. Dampak adanya perubahan dalam tubuh birokrasi belum begitu terasa secara signifikan.

Bagaimana pun bentuk dari penyalahgunaan, jelas akan merugikan negara dan masyarakat. Yang kaya semakin kaya, rakyat kecil semakin menderita. Penghasilan dan kekayaan milik negara semestinya diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat menjadi salah alokasi bahkan banyak digunakan hanya untuk memperkaya diri sendiri. Sehingga hal tersebut berakibat hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan negara. Terlebih pada kasus hukum yang dapat diperjual belikan, banyak sekali kasus tersebut terjadi di negara kita (Muhammad Hasyem, 2020)

Untuk mengatasi patologi birokrasi, ada baiknya seluruh lapisan masyarakat ikut serta bekerjasama melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari patologi birokrasi tidak akan menjadi obat yang ampuh jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap elemen baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya suatu pemerintahan.

Selanjutnya adapun beberapa langkah yang bisa diterapkan untuk mengatasi patologi birokrasi di Indonesia. Langkah pertama, adanya reformasi administrasi secara menyeluruh. Yang artinya reformasi administrasi tidak sekedar mengganti sumber daya manusia, merubah nama lembaga, atau merampingkan struktur dalam birokrasi saja namun juga reformasi yang secara fundamental seperti upgrading kualitas SDM, perbaikan etika dan moral, serta merubah cara pandang para birokrat, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif dan efisien.

Langkah kedua yaitu adanya dasar hukum yang jelas. Kekuatan hukum sangat begitu berpengaruh pada tindak kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam tubuh birokrasi. Realita yang terjadi tidak adanya efek jera yang dirasakan oleh para koruptor, ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat.

Yang ketiga adalah dengan cara menciptakan sistem yang akuntabel dan transparan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Menangani patologi birokrasi melalui prinsip Good Governance, Mar'ie Muhammad menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik. Jika tidak adanya prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya menimbulkan korupsi (Mahasiddiqie, 2022).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun