Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Duren Tiga

31 Juli 2022   08:21 Diperbarui: 31 Juli 2022   08:23 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tangan apimu. Muntahkan amarah birahi cinta. Terkurung dalam lobang-lobang  peluru. Pemantik menyalak bola api. Bersarang memutus urat nadi. Duren tiga gempar. Hingga semua mata tertutup. Saksikan sumber jeritan suara. Bekas-bekas guratan. Usapan air mata anak-anak pandemi.

Saksi bisu terus membisu. Sementara angin tetap berlalu. Pohon-pohon tetap meranting di sela sisi ruang. Burung-burung pun tetap berkicau. Semuanya ikut bersaksi tanpa alibi. Gagang amunisi siapa. Merenggut nafas siapa. Andakata lini masa Dawud diputar di sini. Tak setitik lidik. Serumit saat ini.

Kini, Duren Tiga kembali.  Seperti dulu lagi. Pabrik korek api. Migrasi menjilma luapan amunisi. Itu senja menjelang petang. Tanpa lampu penerang. Kegelapan selalu menjadi penghalang.

Di sini aku bersaksi. Bahwa tiada kata tanpa mengungkap makna. Juga tiada suara jika tanpa gesekannya. Apalagi, peristiwa tanpa sebenar penyebabnya. Betapa gelap selalu bersarang pada malam hari. Irisan fajar pasti cerah di esok hari.

Imam Muhayat, Nusa Dua, 31 Juli 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun