Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sufi Asketik Umbu Landu Paranggi

21 April 2021   00:39 Diperbarui: 21 April 2021   03:08 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selasa (6/4) pukul 03.55 Umbu akhiri nafas selamanya setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur -- Bali. Ia dikenal sebagai figur bertitel presiden Malioboro penempuh jalan panjang dunia kepenyairan.

Ia empati kaum muda di bidang sastra, seni, budaya hingga dikenal luas sebagai mahaguru penyair. Persada Study Club bukti nunggak semi penyair nusantara. Umbu tidak hanya mengajarkan teknis menulis semata. Lebih jauh menanamkan nilai-nilai dengan melakukan latihan-latihan dan praktik-praktik rohaniah cara mengendalikan tubuh dan jiwa. 

Bentang jalan ritmik ujung Tugu Utara Malioboro hingga Pojok Beteng Kidul Keraton Yogyakarta menjadi ritual latihan itu. Pada masanya, suasana Malioboro menemui konteksnya. 

Terbaca dalam sajaknya tujuh cemara: tak kau ingat peta rute juang gerilya/gercik darah tumpah meriba pertiwi/di bawah jam kota tujuh pengemis tua/bertumpu seperti mendoakan kita semua/di bawah tapak sudirman kami mangkal malam-malam ini/sisa sampah debu revolusi. 

Itulah mungkin yang sering Umbu sebut, “momentum yang tepat,”  di mana Malioboro, Yogya sebagai tempat yang tepat sebagai bentuk olah tubuh dan jiwa. Agar mempribadi zahid.

Zahid adalah orang yang berkonsep zuhud. Terlahir dari tradisi tasawuf. Dalam perjalanan spiritual, zuhud merupakan langkah awal bagi pemeluk teguh untuk mendapatkan kepurnaan dan makrifat. Dalam perspektif  literasi, praktik asketik hakikatnya sudah ada sejak lama, sebagai langkah utama lahirnya kehidupan zuhud.

Figur zahid menjadikan Umbu tidak merasa bangga atas kemewahan dunia dan tidak merasa sedih karena kehilangan kebanggaan dari dirinya, selama Tuhan masih ramah menyapa. Sebagaimana tersirat dalam sajak ‘seremoni’ Umbu bergumul nyata: dengan mata pena kugali gali seluruh diriku/dengan helai helai kertas kututup nganga luka lukaku/kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku/begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku.

Di antara zahidnya Umbu, misalnya ia rela melepas sebagai bangsawan Sumba di Kabihu Tana Humba. Ia kemudian memilih memaknai hidup sebagai kehidupan fenomenal. 

Dengan menjalankan kehidupan sedemikian itu, ia menjadi bijak sebagai kemungkinan tertinggi manusia. Kebijaksanaan terasa  keutamaan yang mencukupi kebahagiaannya. Kemujuran maupun kepapaan tidak pernah menggoncangkan kemanusiaannya. Karena orang yang bijak adalah satu-satunya orang bebas dan takluk hanya kepada Tuhan.

Suatu yang indah bagi Umbu dalam memaknai suatu yang bijak memiliki rasa cinta dan setia. Karena kesetiaan menurutnya suatu tindakan aktif, bukan perasaan pasif. Berdiri dalam setia, tidak jatuh ke dalamnya. 

Kesetiaan dirajutnya dalam suatu ikatan yang lahir dari keputusan yang matang. Merawat dengan baik pribadi itu sendiri. Menjadi dirinya sendiri. Juga, selalu menjaga kumpulan pembela yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai  keselarasan titik temu keyakinan berbeda, kecenderungan selaras, motivasi searah, dan pilihan yang sama yang ditekuni  dengan segenap titik temu nilai keyakinan itu─hingga terlahir egaliter hidup yang tercecap dalam hikmah, keamanan dan kedamaian kesemestaan.

Antitesis dalam sajak ‘melodia’ kesetiaan Umbu mengurai damai: karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara/dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya/membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu/meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu/takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi/dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai.

Sebagai penyair, Umbu mengimani kata-kata dan bertuturnya, baik dalam dialog-dialog ringan, pidato dan karya sastra, selain sarat juga menguasai retorika komunikasi. Pada kalangan santri menyebutnya ia komunikator bermaqom jauhar maknun: yakni gaya komunikasi Umbu berisi ilmu ma’ani, bayan, dan badi’. 

Dengan ilmu ma’ani Umbu selalu menyampaikan ide dan gagasannya ke dalam sebuah kalimat yang sesuai dengan kondisi audiens dan di mana audiens mengelilinginya. 

Kemampuan ilmu bayan Umbu bagaimana cara mengungkapkan suatu ide dan gagasan dengan berbagai macam gaya bahasa sastra yang bersifat imajinatif. Ketakjuban dengan ilmu Badi’ Umbu sehingga begitu selektif memperindah kalimat-kalimat dalam karyanya, baik dari aspek makna, maupun susunan kalimat dalam konteksnya.

Ketiga retorika komunikasi itu tersirat jelas pada sajak ‘ibunda tercinta’ yang terbaca merangkum perspektif psikologis, sosiologis, dan religi, “perempuan tua itu senantiasa bernama: cinta kasih sayang, tiga patah kata purba/di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri/menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya. Karenanya, dalam setiap kali pertemuan, audiens berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang yang terasa tidak kesulitan menangkap gagasan yang disampaikan. Ia pulang mereka raih piwulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun