Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesahajaan Seorang Iman Budhi Santosa di Jagat Kesenian

10 Desember 2020   21:11 Diperbarui: 10 Desember 2020   21:18 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan awal dengan  Iman Budhi  Santosa, seingat saya tahun 1988 di Sanggar Eska. Saat itu status  perguruan tinggi masih IAIN Sunan Kalijaga. Selama kepemimpinan komunitas Eska dengan Lurah Sanggar Eska dipegang  oleh Hamdy Salad, Aly D. Musyrifa, dan Otto Sukatno CR (Allahu Yarham), saya masih sering bertemu dengan Iman Budhi Santosa. 

Sosoknya supel, banyak cerita, dan rada serius. Sesekali memberikan petuah seperti orang tua sendiri. Bahkan ada obrolan profesi  hingga menghunjam di ceruk terdalam kehidupan. 

Umpan-umpan obrolan menawarkan alternatif dan sulit ditebak. Seolah-olah komunikan dilepas di ladang pilihan sendiri dan mesti  berani membuat kreasi--meminimalisasi--risiko sebuah pilihan. Layaknya pembelajaran universitas alam yang selama ini menjadi tempat berhikmad bagi Bang Iman.

Pandangan saya tentang Bang Iman, panggilan saya kepadanya, sedemikian konsisten dalam dunianya. Yakni dunia seni, sastra, budaya, dan spiritual. Selama itu pula ia suntuk mengemasnya dalam bentuk kontrak sosial dan aestetika universal. Berlama-lama selalu nyaman duduk bersama di ruang obrolan santai maupun pertemuan resmi. 

Juga tak hendak tergesa-gesa pergi manakala handaitolon lama bersua kembali. Terasa pertemuan dengannya selalu bersifat kekeluargaan, menyenangkan, dan menggembirakan.

Hal itu mungkin bawaan, bentukan, dan fitrah ia sendiri yang telah menyatu dengan jiwa dan raga. Ia telah berhasil membangun kesadaran hulu-hilir kesadaran diri dalam ikatan kontrak sosialnya dan aestetika universal. Bukti semua itu dapat dilacak dari rekam jejaknya yang panjang.

Masyarakat kebudayaan Indonesia mencatat nama Iman Budhi Santosa dengan tinta emasnya: ia satu diantara tujuh orang tersohor yang mendirikan Persada Studi Klub (PSK) yang menjadi cikal bakal para kreator seni  budaya Indonesia.

Catatan keramat yang tak pernah terlupakan oleh Komunitas seni budaya Indonesia dan Bang Iman sendiri, tentunya adalah hari Rabu Pahing  petang pukul  15.00-18.00, tanggal 5 Maret 1969 di Malioboro 175 A lantai atas. Jejak tersebut tidak lain melibatkan tujuh orang yang akhirnya melahirkan Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta. 

Ia, Imam Budhi Santosa berada di tengah-tengah mereka diapit Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Soeparno  S. Adhy, Ipan Sugiyanto  Sugito, Mugiyono G. Warso.

Karib warga PSK pertama yang  dibanggakan oleh Bang Iman dan sesekali dikisahkan adalah Faisal Ismail, Achmad Munif, Mieska M, Amien dkk. Sebelas tahun kemudian komunitas berasal dari tujuh orang tersebut yang dimulai dari tahun 1968-1979 menggaet anggota tidak kurang dari 1500 orang dari Sabang sampai Merauke. Bimbingan masal penyair dilakukan oleh ketujuh dedengkot PSK hingga banyak melahirkan poros jagat kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Sebut saja misalnya: Korie Layun Rampan, Yudhistira A. Nugraha,  Agus Dermawan Tantana, Kusnin Asa, Linus Suryadi, Emha Ainun Nadjib, Faisal Ismail, Achmad Munif, Soeparno S. Adhy, Miska, Jujuk, Suryanto, Darwis, Mustofa W. Hasyim, Arwan Tuti Artha, Sujarwanto, Suminto A. Sayuti, Sutiman Eka Ardana, Jabrohim, Suripto Harsa, dkk. Belakangan para dedengkot PSK bermigrasi sesuai panggilan nurani tanpa henti hingga melahirkan generasi-generasi  produktif betapa terkekang di  ruang duli.

Kesuntukan para dedengkot PSK, dalam hal ini Bang Iman sendiri begitu menyadari mesti adanya konsep penguatan generasi  produktif yang selalu menyadari, apa arti dan nilai apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan kebudayaan (baca sastra). 

Selain itu sedemikian disadarinya bahwa fungsi kesenian dan kebudayaan  dalam masyarakat  penting adanya, lalu siapa lagi dan kapan mesti dimulai. Terasa kepedulian Bang Iman yang sedemikian itu menjadi ritual hariannya sebagai ibadah dan muamalahnya yang dilakukan insha Allah dicintaiNya.

Di mata sohibnya, Maman S. Mahayana kumpulan puisi Iman Budi Santosa, "Cupu Manik Hasthagina", ketiga  puluh puisinya menempatkan kisah dunia pewayangan.  

Simbol-simbol sebagai sumbernya sekaligus muaranya melekat di sana memperoleh konteksnya. Kenyamanan kolaboratif dengan dalang menjadi instrumen tegur sapa, wahana, media tujuan komunikasi bermuara capaian kualifikasi kepurnaan kehidupan sebagai tapak tilas para wali diantaranya Sunan Kalijaga. Kreasi komunikasi yang dibangunnya amsal kesahajaan, dan kemuliaan budi sekaligus akhlakul karimah.

 Perspektif  teologi  profetik menjelaskan bahwa sebaik-baik timbangan adalah keluhuran dan keagungan moralis. Sekali lagi, hingga praksis sosial dan tesis aestetika universal sungguh masih banyak orang mengabaikan. 

Sedangkan bagi Bang Iman pandangan saya, sebagai kawan telah lolos dengan penuh liku-liku Ujiannya. Selamat  Jalan pak Iman Budhi, Allah Swt. bersamamu dan senantiasa menicintaimu, amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun