Neurodivergen Bukan untuk Diperbaiki: Mengungkap Kecerdasan yang Tak Terlihat
Kita hidup di dunia yang dibangun oleh  mayoritas  dan untuk mayoritas. Segala hal telah diatur agar sesuai dengan standar yang dianggap "normal": dari sistem pendidikan, cara belajar, hingga definisi tentang kecerdasan. Tapi bagaimana dengan mereka yang berpikir berbeda? Yang memproses informasi dengan cara yang tak biasa? Yang sering dianggap "sulit," "aneh," atau "bermasalah"? Mereka adalah individu yang disebut neurodivergen  orang-orang dengan cara berpikir, merasakan, dan merespons dunia yang berbeda dari arus utama. Dan selama ini, kita  entah sebagai guru, orang tua, atau masyarakat  cenderung ingin memperbaiki mereka. Padahal, mereka tidak rusak. Mereka hanya berbeda.
Istilah neurodiversitas pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Judy Singer pada akhir 1990-an. Ia menyatakan bahwa kondisi seperti autisme, ADHD, disleksia, dan lainnya bukanlah gangguan yang harus disembuhkan, melainkan variasi alami dari cara kerja otak manusia. Thomas Armstrong dalam bukunya The Power of Neurodiversity menegaskan bahwa individu neurodivergen seringkali memiliki kekuatan tersembunyi: kreativitas yang tinggi, kemampuan menyusun pola, daya ingat visual, hingga intuisi yang kuat dalam menyelesaikan masalah. Penelitian dari Genius Within di Inggris juga menunjukkan bahwa orang dengan disleksia unggul dalam berpikir spasial dan pemecahan masalah strategis, sementara mereka yang hidup dengan ADHD kerap memiliki energi kreatif dan kemampuan bereaksi cepat dalam situasi darurat. Bahkan menurut Yale Center for Dyslexia & Creativity, banyak tokoh besar dunia  dari Steven Spielberg hingga Steve Jobs  memiliki karakteristik disleksia dan ADHD. Jadi, mengapa kita masih berusaha menjadikan mereka "normal"?
Saya ingat suatu hari, saat menjadi narasumber di sebuah kelas pendidikan khusus, seorang calon guru bertanya dengan tulus, "Kalau kamu bisa membaca normal, bukankah kamu ingin bisa?" Ia bahkan menekankan kata "normal" dengan tanda kutip di udara. Saya terdiam sejenak, lalu balik bertanya, "Apa yang harus saya korbankan untuk menjadi normal?" Karena saya telah belajar mencintai cara kerja otak saya. Jika saya bukan disleksia, apakah saya masih bisa melihat pola-pola tersembunyi yang tidak dilihat orang lain? Apakah saya masih bisa menciptakan cerita seperti sekarang? Apakah saya masih akan punya empati sebesar ini terhadap anak-anak yang merasa tersesat di ruang kelas? Saya tidak yakin.
Sering kali, ketika kita berkata "ingin memudahkan hidup anak-anak ini," sebenarnya kita hanya ingin memudahkan hidup kita sendiri. Kita ingin mereka duduk tenang agar ruang kelas lebih tertib. Kita ingin mereka membaca lancar agar tidak mengganggu alur pelajaran. Kita ingin mereka patuh, diam, dan tidak merepotkan. Tapi, itu bukan inklusi. Itu bukan penerimaan. Itu adalah bentuk penyesuaian sepihak  agar mereka cocok dengan sistem, bukan agar sistem menyesuaikan mereka.
Dunia ini tidak netral. Ia dibangun berdasarkan kebutuhan mayoritas. Maka jangan heran jika anak ADHD dianggap pembangkang, anak disleksia dianggap bodoh, dan anak autisme dianggap dingin atau aneh. Padahal, yang salah bukan mereka. Yang tidak adil adalah dunia yang tidak memberi ruang untuk perbedaan. Bayangkan jika kita punya sekolah yang fleksibel, ruang belajar yang ramah sensorik, guru yang siap mendengar sebelum menilai, dan orang tua yang bertanya "kamu butuh apa?" alih-alih "kenapa kamu tidak seperti anak lain?" Bukankah itu lebih manusiawi?
Karena pada akhirnya, neurodivergensi bukan tentang gangguan yang harus diperbaiki. Ia adalah cara lain untuk menjadi manusia. Ia adalah pintu masuk menuju kreativitas, inovasi, dan empati yang selama ini terabaikan. Kita tidak membutuhkan dunia yang lebih sempurna  kita butuh dunia yang lebih lentur.
"Neurodivergen bukanlah individu yang harus diperbaiki agar cocok dengan dunia. Dunia-lah yang harus belajar memperluas definisi sukses dan kecerdasan." Â Imam Setiawan
"Jika menolak neurodiversitas itu salah, maka itu salah untuk semua bentuknya. Termasuk saat kamu berusaha menghapusnya diam-diam atas nama kenyamanan."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI