Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aku, Guru dan Diriku : Ketika Kepribadian Menjadi Cara Mengajar

31 Mei 2025   08:30 Diperbarui: 31 Mei 2025   07:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku, Guru, dan Diriku : Ketika Kepribadian Menjadi Cara Mengajar 

Menjadi guru bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah bagian dari identitas. Kadang, begitu melekatnya peran itu sampai kita sulit membedakan ini aku yang mengajar, atau ini aku yang sungguh-sungguh?

Guru bukan hanya pengajar. Kita adalah pendengar, pelindung, motivator, bahkan penyembuh luka anak-anak yang sering tak kasat mata. Dan di balik itu semua, ada satu hal yang sangat menentukan bagaimana kita menjalani peran itu: kepribadian kita.

Setiap pagi, aku bukan hanya membawa buku pelajaran dan rencana pembelajaran ke kelas. Aku juga membawa diriku Imam, penyandang disleksia dan ADHD. Anak yang dulu sering dianggap 'bodoh', 'bandel', dan 'terlalu aktif'. Kini berdiri di depan anak-anak berkebutuhan khusus, mencoba memberi mereka ruang yang dulu tak pernah kumiliki.

Penelitian menunjukkan bahwa kepribadian guru memiliki pengaruh besar dalam efektivitas pengajaran. Menurut Robert E. Slavin dalam bukunya Educational Psychology: Theory and Practice, kepribadian guru yang hangat, terbuka, dan suportif berdampak langsung terhadap motivasi belajar murid. Penelitian dari Kim dan MacCann (2016) juga menyebutkan bahwa conscientiousness (sifat bertanggung jawab dan teliti) adalah prediktor kuat dari kualitas pengajaran yang tinggi.

Namun, ini bukan hanya tentang teori. Ini tentang ruang kelas yang nyata tempat di mana guru-guru ekstrovert menciptakan energi yang membangkitkan semangat, memfasilitasi diskusi hidup, dan membentuk koneksi emosional melalui kata-kata. Sementara itu, guru-guru introvert membawa ketenangan, menciptakan struktur, memberi ruang untuk refleksi dan pertumbuhan yang dalam. Dan keduanya, sama-sama penting.

Aku sendiri pernah menjadi guru yang kaku. Di awal-awal mengajar, aku merasa harus mengikuti aturan, metode, dan gaya "guru ideal" yang kutiru dari pelatihan atau buku. Tapi itu bukan aku. Aku lelah, cepat marah, dan kehilangan koneksi dengan anak-anak yang justru sangat membutuhkan kehadiranku yang tulus.

Perubahan itu terjadi perlahan. Aku mulai berdamai dengan diriku dengan disleksiaku, dengan ADHD-ku. Aku belajar menertawakan kesalahan, memberi ruang untuk kekacauan yang kreatif, dan menerima bahwa ruang kelas bukan tempat sempurna, tapi tempat tumbuh.

Suatu hari, aku mengajar seorang anak dengan disleksia berat. Ia takut menulis, takut membaca, takut salah. Dulu aku mungkin akan menyuruhnya mencoba lagi dan lagi, mengejar target kurikulum. Tapi aku ingat betapa aku dulu membenci huruf-huruf yang menari di buku. Maka aku berkata padanya, "Hari ini, kamu tidak harus menulis huruf. Ceritakan saja lewat gambar atau suara." Matanya berbinar. Untuk pertama kalinya, ia mengangkat tangannya tanpa takut.

Itulah titik balikku. Aku bukan lagi guru yang hanya mengajar "apa", tapi juga mengajar "bagaimana" bagaimana bertahan, bagaimana mencintai proses, bagaimana menghargai diri sendiri meskipun berbeda. Aku tidak lagi mengajar karena tuntutan, tapi karena panggilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun