Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Formula Einstein-Ashe : Ketika ADHD Membuat Saya Terasa Sementara

13 Mei 2025   09:34 Diperbarui: 13 Mei 2025   09:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Formula Einstein-Ashe : Ketika ADHD Membuat Segalanya Terasa Sementara

Saya pernah bilang ke teman saya sambil tertawa, "Mungkin aku memang tidak ditakdirkan punya barang mewah... atau jadwal yang konsisten." Mereka mengira saya bercanda. Tapi sebenarnya, itu adalah versi sederhana dari kekacauan yang saya alami setiap hari. Saya menyebutnya: Formula Einstein-Ashe untuk ADHD. Formula ini tidak pernah ditemukan dalam buku sains atau kutipan motivasi. Saya yang menciptakannya. Bukan untuk terdengar pintar, tapi sebagai cara menyederhanakan kenyataan bahwa dalam hidup saya, sesuatu yang berhasil bahkan yang sangat membantu seringkali hanya bertahan sementara.

Saya ingat momen ketika saya menemukan aplikasi manajemen waktu yang wah banget. Rasanya seperti menemukan mesin waktu pribadi. Saya mulai produktif, saya merasa "normal". Tapi beberapa minggu kemudian, aplikasi itu tak lagi menarik. Rasanya hambar. Hambar seperti mi instan tanpa bumbu. Saya mencoba memaksakan diri. Tapi setiap hari jadi pertempuran. Akhirnya, saya berhenti. Bukan karena saya malas, tapi karena rasa tertarik saya hilang. Dan buat otak seperti saya, itu fatal.

Fenomena ini dikenal sebagai hedonic adaptation kemampuan otak manusia untuk beradaptasi dengan stimulus yang berulang, sehingga yang awalnya menyenangkan jadi biasa saja. Tapi di otak ADHD, ini bukan sekadar adaptasi. Ini bisa jadi kemerosotan fungsi eksekutif. Apa yang dulu menyelamatkan hidup, mendadak terasa membosankan, membuat frustrasi, dan menimbulkan rasa bersalah. Saya menyalahkan diri saya. "Kenapa sih kamu nggak konsisten?" Tapi kemudian saya tahu... bukan saya yang salah. Sistem motivasi saya memang berbeda.

Menurut Dr. William Dodson, orang dengan ADHD tidak termotivasi oleh "tanggung jawab" atau "akibat logis" yang sering jadi pegangan orang neurotipikal. Kita bekerja berdasarkan minat, urgensi, emosi, atau tantangan. Sistem saraf kita tidak akan merespon hanya karena "ini penting" atau "ini harus dilakukan." Harus ada spark percikan. Dan jika percikan itu padam, semua menjadi gelap. Ini bukan alasan. Ini adalah biologi.

Russell Barkley, pakar ADHD terkemuka, bahkan menyebutkan bahwa inti dari ADHD bukanlah kurangnya perhatian, tapi dysregulation ketidakmampuan mengatur emosi, perhatian, waktu, dan motivasi. Kita bisa sangat fokus pada hal yang kita suka (hyperfocus), tapi kehilangan arah saat rasa tertarik itu pudar. Kita bisa sangat kreatif, tapi kesulitan menyelesaikan. Kita bisa sangat cerdas, tapi tetap dicap "tidak disiplin."

Saya adalah contoh hidup dari semua itu. Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, masa kecil saya adalah labirin tanpa peta. Saya bukan hanya anak yang kesulitan membaca, saya juga anak yang tidak bisa diam, tidak bisa fokus, dan sering melamun saat pelajaran. Saya pernah dipanggil "anak bodoh," "pengganggu," bahkan dianggap punya masalah perilaku. Padahal saya hanya berpikir dengan cara yang berbeda. Sekolah adalah siksaan, bukan karena saya malas, tapi karena saya berjuang di medan yang tidak pernah dirancang untuk saya.

Saya pernah merasa rusak. Tapi saya belajar bahwa saya tidak rusak saya hanya butuh pendekatan yang berbeda. Saya belajar untuk tidak terlalu berharap pada satu metode atau sistem. Saya belajar bahwa apa yang berhasil hari ini mungkin tidak akan berhasil besok. Tapi saya juga belajar bahwa bukan berarti saya harus menyerah. Justru, saya belajar menemukan kembali motivasi saya, tiap kali ia pergi. Itu adalah seni bertahan hidup bagi kami yang hidup dalam otak yang sibuk terlalu sibuk.

Hidup dengan ADHD dan disleksia bukan tentang konsistensi, tapi tentang komitmen untuk terus mencoba. Bukan tentang tetap berada di jalur, tapi tentang keberanian untuk kembali setiap kali tersesat. Kita mungkin tidak selalu bisa stabil, tapi kita bisa gigih. Kita adalah pemburu makna, pencari tantangan, pemilik dunia ide yang berputar cepat, dan ya kadang terlalu cepat untuk dunia yang lambat.

Jadi, jika kamu seperti saya, dan kamu merasa gagal karena "hal yang dulu berhasil kini tak lagi terasa", ingatlah: mencari bukan kelemahan, itu bagian dari kita. Kita mungkin tidak punya sistem yang tahan lama, tapi kita punya daya tahan yang luar biasa. Kita jatuh berkali-kali, tapi kita tetap bangun. Dan itu, menurut saya, lebih hebat dari konsistensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun