Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Tak harus Sempurna, Asal Manusianya Nyata

30 April 2025   09:51 Diperbarui: 29 April 2025   15:57 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sekolah Tak Harus Sempurna, Asal Manusiawinya Nyata"

Saya ingin memulai dengan satu pertanyaan sederhana: Apa sebenarnya tujuan sekolah?
Apakah untuk mencetak nilai tinggi? Membangun persaingan? Atau... membentuk manusia?

Saya ingin bercerita tentang Aida. Seorang anak perempuan dengan senyum yang selalu siap, meski sering tertinggal dalam hitungan dan huruf. Di atas kertas, ia terindikasi memiliki disabilitas intelektual. Tapi di ruang kelas kecil dan berdebu di sebuah sekolah inklusi di Jepara, Aida adalah pelukis dunia dengan warna-warninya sendiri. Ia tidak mengenal "kompetensi dasar", tapi ia tahu betul bagaimana cara membuat temannya yang sedih tersenyum kembali.

Saya berdiri di sini bukan hanya sebagai pendidik, tapi juga sebagai mantan anak dengan disleksia dan ADHD. Saya tahu bagaimana rasanya duduk di bangku sekolah dan merasa tidak cukup. Bukan karena tidak mampu, tapi karena sistemnya tidak cukup memahami saya.

Dan saya percaya, banyak anak hari ini masih mengalami hal yang sama.

Selama ini, sistem pendidikan kita terlalu kaku dalam memahami keberagaman cara berpikir dan belajar. Lev Vygotsky, seorang psikolog perkembangan, berbicara tentang Zona Perkembangan Proksimal bahwa anak belajar paling efektif ketika mereka dibantu dalam batas kemampuan mereka. Tapi bagaimana mungkin kita bisa membantu jika kita bahkan tidak mengakui bahwa mereka belajar dengan cara berbeda?

Howard Gardner lewat teori Multiple Intelligences menegaskan bahwa kecerdasan tidak hanya tunggal. Anak-anak bisa cerdas secara verbal, logis, musikal, spasial, interpersonal, dan lainnya. Maka ketika sekolah hanya menilai kemampuan logis-matematis dan linguistik, bukankah kita sedang menutup mata terhadap spektrum potensi anak-anak?

Di ruang kelas, saya pernah melihat Aida yang tidak bisa menghitung dengan benar, tapi bisa menenangkan temannya yang tantrum hanya dengan pelukan dan gumaman kecil. Bukankah itu juga bentuk kecerdasan emosional?

Inklusi sering disalahpahami sebagai "menggabungkan" anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas reguler. Padahal, seperti yang dikatakan Booth dan Ainscow dalam Index for Inclusion, inklusi adalah proses menciptakan budaya, kebijakan, dan praktik yang merayakan keberagaman dan memastikan setiap anak merasa memiliki tempat.

Ketika saya melakukan program "Dyslexia Keliling Nusantara", saya melihat bagaimana sekolah-sekolah kecil yang jauh dari sorotan justru lebih berhasil menghadirkan rasa aman bagi anak. Mereka tidak punya laboratorium canggih, tapi punya guru yang rela duduk di lantai menemani anak menyelesaikan satu kalimat dalam 20 menit. Mereka tidak paham istilah "diferensiasi instruksi", tapi mereka tahu satu anak tidak bisa diperlakukan sama dengan anak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun