"Mengelola Waktu, Mengelola Diri: Perspektif Akademik Disleksia-ADHD"
Dalam dunia yang bergerak serba cepat ini, time management sering kali dipandang hanya sebagai keterampilan tambahan. Padahal, menurut riset akademik, pengelolaan waktu yang efektif berkaitan langsung dengan kesejahteraan psikologis, kesuksesan akademik, hingga kualitas hidup seseorang.
Macan et al. (1990) dalam studinya menyatakan bahwa manajemen waktu yang baik berhubungan positif dengan prestasi dan pengurangan stres. Sementara itu, penelitian Aeon dan Aguinis (2017) mengungkapkan bahwa time management adalah "predictor penting terhadap produktivitas, kesejahteraan, dan kinerja, namun harus dipahami bukan hanya soal mengisi waktu, melainkan soal mengarahkan energi ke prioritas hidup."
Bagi individu dengan disleksia dan ADHD seperti saya, tantangan dalam manajemen waktu menjadi dua kali lipat lebih berat. Disleksia membuat proses pengolahan informasi tertulis melambat. ADHD membuat fokus tersebar ke berbagai arah. Sehingga tanpa strategi pengelolaan waktu yang adaptif, sangat mudah bagi kami untuk tersesat dalam kekacauan internal.
Dalam perjalanan Dyslexia Keliling Nusantara  program yang saya rintis untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus di berbagai penjuru Indonesia saya tidak hanya belajar tentang pendidikan anak-anak ini, tetapi juga tentang bagaimana scheduling menjadi "penyelamat" dalam hidup saya.
Saya mulai memahami konsep self-regulation yang dikemukakan oleh Zimmerman (2000): bahwa individu yang mampu mengatur dirinya  termasuk waktu dan tindakannya akan lebih mampu mencapai tujuan jangka panjang. Dalam konteks ADHD, Barkley (1997) menekankan bahwa salah satu inti masalah adalah "defisit eksekutif" kesulitan dalam mengatur waktu, mengendalikan diri, dan merencanakan masa depan.
Namun bukan berarti ini tidak bisa diatasi.
Dengan belajar membuat scheduling sederhana menetapkan prioritas, memecah tugas besar menjadi tugas-tugas kecil, memberi ruang fleksibilitas untuk keterlambatan saya mulai menciptakan pola baru dalam hidup saya. Saya belajar menggunakan prinsip Time Blocking yang dipopulerkan oleh Cal Newport, yaitu membagi hari menjadi blok-blok waktu untuk tugas tertentu, alih-alih membiarkan tugas-tugas "menyerang" saya tanpa kendali.
Apakah saya selalu berhasil? Tentu saja tidak.
Namun justru di sanalah kuncinya : Scheduling bukan tentang kesempurnaan.
Scheduling adalah tentang komitmen untuk terus kembali ke jalur, bahkan saat kita tergelincir.
Saya menemukan bahwa kalender bukanlah musuh kebebasan, seperti yang dulu saya pikirkan.
Sebaliknya, jadwal harian saya justru menciptakan kebebasan sejati: kebebasan untuk hadir utuh untuk anak-anak yang saya dampingi, kebebasan untuk tetap setia pada misi hidup saya, dan yang paling penting, kebebasan untuk menjadi diri saya sendiri dengan segala keunikan saya.
Maka hari ini, saya berdiri di sini untuk berkata :
Jika Anda merasa manajemen waktu adalah beban, mungkin Anda belum menemukan caranya yang tepat untuk Anda. Penelitian menunjukkan bahwa keterampilan ini dapat dilatih, dibangun, diperbaiki sepanjang hidup kita. Dan dari pengalaman saya, bahkan dalam otak yang "sibuk sekali" seperti milik saya, mengelola waktu berarti satu hal: mengelola harapan, mengelola impian, dan mengelola masa depan.