Disleksia, ADHD, dan Waktu yang Tak Pernah Mau Bersahabat
Kalau kamu bertanya padaku, apa yang paling sulit dari hidup dengan ADHD, mungkin kamu berharap jawabannya adalah "fokus." Tapi buatku, jawabannya lebih sederhana dan lebih menyakitkan: waktu.
Bukan karena saya tidak tahu waktu itu penting. Justru sebaliknya, saya selalu merasa dikejar-kejar waktu, tapi saya tidak tahu arah ke mana harus lari. Saya bisa duduk menatap layar selama tiga jam, hanya untuk menyadari bahwa saya bahkan belum mulai.Â
Atau sebaliknya, saya bisa menyelesaikan sesuatu dalam waktu sepuluh menit... tapi mengerjakannya satu jam sebelum tenggat. Semuanya terasa seperti roller coaster tanpa sabuk pengaman. Time-blindness, kata para ahli. Tapi buat saya, itu lebih dari sekadar istilah ilmiah. Itu adalah pengalaman hidup dan kadang, luka yang tak terlihat.
Saya lahir sebagai anak dengan disleksia dan ADHD dua kombinasi yang, kalau di sekolah, sering disebut "bencana akademik." Saya tak bisa membaca cepat, sulit fokus, dan tak bisa duduk diam. Guru saya dulu sering berkata, "Imam, kamu punya potensi, tapi kamu pemalas." Padahal, saya bukan malas. Saya hanya buta arah. Seperti naik kereta yang salah tapi baru sadar ketika sudah sampai ujung lintasan.
Orang tua saya sempat bingung. Kenapa anak mereka seperti hidup di waktu yang berbeda? Kenapa Imam tidak bisa mengikuti ritme seperti anak-anak lain? Kenapa dia lupa hari ujian, tapi bisa mengingat semua detail tentang binatang laut, atau bisa berbicara panjang lebar tentang cara kerja otak manusia?
Saya sendiri pun frustrasi. Saya ingin sekali hidup "normal," seperti teman-teman saya. Tapi semakin saya mencoba menyesuaikan diri, semakin saya merasa... hilang. Waktu bukan sekadar angka di jam dinding. Waktu, bagi saya, adalah kabut yang menutupi jalan.
Titik balik hidup saya datang bukan dari seminar motivasi atau buku manajemen waktu. Justru dari anak-anak yang seperti saya. Anak-anak yang saya temui dalam perjalanan saya keliling Indonesia lewat Dyslexia Keliling Nusantara.
Di tengah kampung di Kalimantan, di sekolah-sekolah kecil di pelosok NTT, saya bertemu anak-anak yang hidup di waktu mereka sendiri. Mereka tidak tahu jam 7 artinya pelajaran dimulai. Tapi mereka tahu jam segitu burung berkicau. Mereka tidak paham deadline. Tapi mereka tahu kapan emosi mereka siap belajar.
Di situlah saya belajar: mungkin, selama ini, kita terlalu terobsesi dengan waktu versi "orang normal." Kita terlalu banyak memaksa jam digital pada anak-anak yang berpikir dalam pola, ritme, dan warna.