Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inklusi bukan Label, Tapi Tanggung Jawab

9 April 2025   13:58 Diperbarui: 9 April 2025   11:07 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Inklusi Bukan Label, tapi Tanggung Jawab: Suara dari Seorang Disleksia-ADHD"

Pernah nggak sih ketemu guru yang gampang banget ngasih label ke anak?
"Ah, anak ini malas, nakal, nggak mau belajar!"
Padahal bisa jadi, dia bukan malas... dia bingung. Dia bukan nakal... dia kelelahan. Dan dia bukan nggak mau belajar... dia cuma belum ketemu cara belajar yang cocok buat otaknya yang beda dari mayoritas.

Saya tahu rasanya. Karena saya adalah anak itu. Anak yang dianggap biang kerok di kelas. Anak yang selalu disuruh berdiri di pojokan karena nggak bisa duduk diam. Anak yang gurunya bilang, "Kamu tuh bodoh ya? Baca segitu aja nggak bisa!"
Saya disleksia. Saya ADHD.
Dan saya tumbuh di sistem pendidikan yang waktu itu nggak ngerti apa itu disleksia... dan lebih memilih memberi cap daripada memberi dukungan.

Masalahnya, sistem kita belum banyak berubah.

Saya sering mendatangi sekolah-sekolah lewat proyek Disleksia Keliling Nusantara, dan saya melihat satu pola yang menyedihkan: guru-guru yang tulus tapi bingung, dan sekolah-sekolah inklusi... yang hanya inklusi di atas kertas.

Mereka bangga dengan label "Sekolah Inklusi." Ada spanduk, ada brosur, bahkan disebut di media sosial dan website. Tapi ketika saya tanya, "Pendampingnya siapa? Terapi rutin ada? Materi disesuaikan nggak?" Jawabannya nyaris selalu sama:
"Nggak ada, Mas. Belum sampai ke sana."

Jujur, saya geram.

Karena yang terjadi sebenarnya adalah komersialisasi inklusi. Anak-anak berkebutuhan khusus diterima di sekolah bukan karena sekolah siap, tapi karena sekolah ingin tampak ramah, progresif... dan kadang, ya, karena ingin menambah biaya. Ada sekolah yang mematok uang masuk dan SPP lebih tinggi untuk anak ABK, tapi tidak memberi layanan apapun yang pantas. Tidak ada terapi, tidak ada guru pendamping, tidak ada IEP (Individualized Education Plan).
Lalu ketika anak itu kesulitan, sekolah justru menyalahkan anak dan keluarganya.
"Anaknya nggak bisa mengikuti pelajaran."
"Orangnya susah diatur."
"Atau bahkan... lebih baik pindah saja ke SLB."

Inklusi bukan bisnis. Inklusi adalah komitmen moral. Inklusi adalah keberanian untuk bertanya:
"Apa yang bisa saya ubah di ruang kelas saya, agar semua anak merasa aman dan bisa belajar?"

Kalau sekolah cuma bisa kasih label tanpa dukungan, itu bukan inklusi. Itu penipuan. Dan yang paling dirugikan adalah anak-anak yang seharusnya kita lindungi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun